KOMPAS.com – Pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan umum yang terjadi di wilayah perkotaan.
United Nation Environment Programme (UNEP) menyatakan bahwa 6,5 juta orang meninggal setiap tahun akibat kualitas udara buruk. Dari angka ini, 70 persen kasus kematian terjadi di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Tak dapat dimungkiri, kualitas udara di kota besar di Indonesia berada pada level terendah. Jakarta, misalnya, pernah dinyatakan sebagai kota terpolusi di dunia berdasarkan World Air Quality Report 2019 yang dikeluarkan IQAir.
Sementara itu, pada 2020, giliran Kota Tangerang Selatan yang menduduki ranking 25 sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Chief Operating officer (CEO) IQAir Frank Hammes mengatakan, polusi udara semakin menjadi ancaman terbesar bagi kesehatan manusia. Bahkan, 90 persen populasi global saat ini menghirup udara yang tidak aman.
Hammes menjelaskan, kondisi tersebut justru lebih berbahaya dibandingkan virus corona sebagai penyebab Covid-19 yang kini telah menjadi wabah di dunia.
“Ketika virus corona baru mendominasi berita utama internasional, polusi udara justru telah menjadi pembunuh dalam senyap yang menyebabkan hampir 7 juta kematian per tahun," kata Hammes seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (4/3/2020.)
Menurut Encyclopedia Britannica, polusi udara adalah pelepasan gas, padatan halus, dan aerosol cair ke udara dengan kecepatan yang melebihi kecepatan alami lingkungan untuk menghilangkannya.
Pelepasan polutan tersebut sebagian besar terjadi akibat emisi gas buang kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, seperti bensin dan solar. Polutan ini berkontribusi hingga 70 persen terhadap pencemaran udara.
Baca juga: Perbandingan Emisi Gas Buang Kendaraan Listrik dengan Konvensional
Sebagai informasi, emisi gas buang adalah sisa pembakaran yang terjadi di dalam mesin pembakaran dalam atau internal combustion engine. Emisi ini dikeluarkan melalui knalpot (exhaust system).
Dalam emisi gas buang terdapat sejumlah unsur kimia, seperti air (H2O), karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2), dan hidrokarbon (HC). Selain air, keempat unsur lain memberikan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
Karbon monoksida, misalnya, dapat menurunkan kadar suplai oksigen dalam darah jika terhirup manusia. Pasalnya, kandungan ini akan mengikat hemoglobin sel darah merah yang mengangkut oksigen di dalam tubuh.
Dalam dosis rendah, karbon monoksida bisa menyebabkan sakit kepala, pusing, lemas, dan mual. Sementara, paparan karbon monoksida dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kematian.
Kemudian, nitrogen dioksida yang memiliki bau tajam dan berwarna coklat kemerahan dapat menyebabkan gangguan napas. Polutan ini juga merupakan senyawa karsinogenik penyebab penyakit kanker.
Menghirup nitrogen dioksida secara terus-menerus dan berlebihan bisa memberikan efek fatal bagi tubuh, mulai dari sesak napas hingga kematian.
Baca juga: Mengenal Emisi Gas Buang pada Kendaraan Bermotor dan Bahayanya
Hal serupa juga ditimbulkan oleh hidrokarbon. Senyawa ini bisa menimbulkan gangguan napas, kerusakan paru-paru, dan menjadi penyebab penyakit kanker.
Dampak yang lebih luas terjadi akibat paparan karbon dioksida adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK).
Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada pada atmosfer bumi dan berfungsi menangkap panas matahari. Pada dasarnya, keberadaan gas tersebut dapat menjaga kestabilan temperatur bumi sehingga manusia, hewan, dan tumbuhan bisa hidup.
Namun, penumpukan akibat gas rumah kaca yang terlalu banyak dapat membuat suhu bumi meningkat. Kondisi ini kemudian dapat menyebabkan pemanasan global.
Baru-baru ini, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan bahwa konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer meningkat dan telah melampaui tingkat rekor tahun lalu.
WMO memprediksi bahwa peningkatan emisi gas rumah kaca akan mengakibatkan cuaca yang lebih ekstrem. Dampak ini dapat meluas dan memengaruhi sektor ekonomi dan sosial.
Oleh karena itu, tak heran jika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan polusi udara dalam daftar ancaman lingkungan terbesar di dunia.
Demi mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor yang berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan, kontribusi semua pihak, terutama masyarakat luas, amat dibutuhkan.
Masyarakat bisa memulainya dari hal kecil, seperti menggunakan transportasi publik, melakukan uji emisi kendaraan secara berkala, dan memilih kendaraan ramah lingkungan, misalnya kendaraan elektrifikasi.
(Baca juga: Indonesia Punya Tantangan Besar Jadi Pemain Global Elektrifikasi)
Mengupayakan hal yang sama, pemerintah juga telah menegaskan komitmen untuk mencapai target net-zero emission (NZE) pada 2030.
Melalui Perjanjian Paris, pemerintah juga berjanji akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Saat berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan bahwa salah satu upaya untuk mencapai target tersebut adalah dengan pengembangan ekosistem mobil listrik di Indonesia.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan tiga juta unit populasi kendaraan listrik di Indonesia pada 2030. Dengan target itu, tingkat CO2 diprediksi bakal turun hingga 4,6 juta ton.
Demi mendukung komitmen tersebut, perusahaan otomotif PT Toyota Astra Motor (TAM) pun ikut ambil bagian.
Baca juga: Toyota Dukung Pengembangan Elektrifikasi Kendaraan di Indonesia
President Director PT TAM Susumu Matsuda mengatakan, TAM senantiasa mendukung keinginan positif pemerintah mengakselerasi kehadiran kendaraan-kendaraan ramah lingkungan.
“Kami mengapresiasi keseriusan pemerintah dalam memperhatikan kemajuan teknologi kendaraan, termasuk kendaraan elektrifikasi. Keseriusan ini merupakan upaya bersama dalam menjaga lingkungan untuk masa depan kehidupan yang lebih baik,” ujar Susumu Matsuda dalam webinar TAM Electrification Day 2021, Jumat (29/10/2021).
Sebagai informasi, TAM sendiri telah melakukan gerakan pengurangan emisi jauh sebelum regulasi-regulasi yang berkaitan dengan itu ditetapkan pemerintah.
Gerakan tersebut antara lain mengadopsi teknologi-teknologi rendah emisi, seperti Electronic Fuel Injection (EFI), Variable Valve Timing-Intelligent (VVT-I), dan Dual VVT-I.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, TAM juga menghadirkan kendaraan elektrifikasi melalui merek Toyota serta Lexus yang mengusung teknologi Hybrid Electric Vehicle (HEV), Plug-In Hybrid Vehicle (PEV), Battery Electric Vehicle (BEV), dan Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV).
Untuk diketahui, Toyota memiliki 55 lini kendaraan elektrifikasi secara global dengan total penjualan lebih dari 2 juta unit setiap tahun.
Baca juga: Toyota Akan Hadirkan Kendaraan Elektrifikasi di Tiap Line-up
Kontribusi tersebut diperkirakan telah mengurangi total kumulatif emisi karbon sebesar 140 juta ton dalam waktu lebih dari 20 tahun.
Di Indonesia, TAM pertama kali menghadirkan kendaraan elektrifikasi HEV melalui Toyota Prius Hybrid pada 2009 dan Lexus LS600h pada 2010.
Hingga 2021, Toyota Indonesia telah memiliki 10 model kendaraan elektrifikasi, mulai dari HEV, PHEV, hingga BEV. Dari 10 model ini, Toyota berhasil dan membukukan penjualan hampir 5.000 unit.
Pada Maret 2021, Toyota juga sudah menghadirkan EV Smart Mobility. Peluncuran ini dilakukan di Nusa Dua, Bali.
Dua model BEV Toyota, yaitu C+Pod dan COMS, digunakan menjadi satu ekosistem BEV lengkap agar masyarakat bisa memiliki pengalaman bermobilitas dengan kendaraan elektrifikasi yang berada di kompleks area wisata serta mendukung langkah wisata ramah lingkungan.
Baca juga: Toyota Sudah Jual 4.900 Unit Kendaraan Elektrifikasi, Sumbang Pengurangan Emisi
Dengan berbagai langkah dan kontribusi seluruh pihak, komitmen Indonesia untuk mengurangi efek gas rumah kaca melalui penekanan emisi gas buang kendaraan bermotor pun dapat tercapai.
Pada akhirnya, polusi udara bisa ditekan. Kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan pun terjaga.