JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia berupaya untuk bisa berkontribusi dalam pengurangan emisi dari sektor transportasi guna menciptakan lingkungan bersih seraya mengatasi pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Komitmen tersebut diwujudkan dengan masuknya RI jadi salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement 2015) pada November 2016 lalu.
Beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah ialah menerapkan standar emisi gas buang bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih menjadi Euro 4, penerapan carbon tax, hingga membangun industri kendaraan listrik.
Baca juga: Kenapa Pabrikan Otomotif Jepang Tak Bisa Langsung Beralih ke Elektrifikasi?
Khusus elektrifikasi, Indonesia disebut memiliki potensi yang besar untuk menjadi pemain utama. Mengingat, sumber daya yang dimiliki sangat melimpah baik dari hulu sampai hilir.
"Maka sangat wajar bila kita dilirik banyak produsen kendaraan listrik dunia seperti Tesla. Hanya saja, terdapat tantangan yang besar," kata Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Febriany Eddy belum lama ini.
Menurut dia, tantangan yang timbul di tengah isu pengembangan baterai listrik, salah satunya adalah jaminan bahwa rantai nilai (value chain) yang dihasilkan dari sisi hulu hingga hilir harus ramah lingkungan.
Selain itu, olahan yang dihasilkan juga harus rendah emisi karbon di samping tuntutan terhadap aspek environmental, social, and corporate governance (ESG) semakin tinggi.
Sementara aspek ESG Indonesia, lanjut dia masih cukup rendah. Ditambah, emisi karbon per ton nikel di Indonesia juga masih cukup tinggi.
Baca juga: Berkat Kendaraan Listrik, Komoditas Nikel Indonesia Tambah Populer
“Tugas kita cukup besar, untuk benar-benar memperbaiki citra aspek ESG. Sebab, pelanggan besar seperti Tesla tentu akan datang dan mengecek langsung, harus benar-benar real dan tidak bisa hanya lip service,” ujar Febriany.
Beberapa waktu lalu, Tesla secara mengejutkan berminat untuk menanamkan investasi di dalam negeri dalam sektor kendaraan bermotor listrik. Tapi pada perkembangannya, ternyata menemui jalan buntu.
Tidak ada penjelasan dari pemerintah maupun pihak produsen asal Amerika Serikat (AS) tersebut mengenai putusannya itu. Tapi, disinyalir karena kondisi Indonesia yang belum kondusif baik dari sisi ekosistem, insentif, sampai biaya investasinya.
“Ada dua hal mengapa Tesla akhirnya lebih memilih India. Pertama soal pajak, di Indonesia meskipun ada keringanan pajak kendaraan listrik, namun buat Tesla iklim pajak di India jauh lebih baik dibandingkan Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad.
Menurutnya iklim pajak tidak sekedar soal tarif, melainkan soal kemudahan, serta birokrasi yang lebih cepat dan mudah. Belum lagi soal tenaga kerja, yang disebut masih ketinggalan dibanding India perihal industri kendaraan listrik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.