JAKARTA, KOMPAS.com - Hyundai kini berada dalam posisi yang menantang di tengah persaingan kendaraan roda empat yang ketat di pasar dalam negeri. Terbukti kini merek asal Korea Selatan tersebut terlempar dari posisi 10 besar.
Kondisi ini seiring dengan perlambatan penjualan mobil listrik (electric vehicle/EV) usai datang penantang baru asal China, seperti BYD. Padahal tahun lalu Hyundai sebagai salah satu pionir masih sangat bersaing dengan Wuling.
Data Gaikindo menunjukkan, sepanjang Januari-September 2024 jumlah penjualan Hyundai terkontraksi 35 persen dari 26.505 unit menjadi 17.164 unit. Sehingga menempatkannya dari peringkat 8 ke 11 di pasar nasional.
Baca juga: Rekayasa Lalu Lintas Jelang Debat Pilkada DKI Jakarta 2024 Hari Ini
Sementara untuk persaingan pasar mobil listrik berbasis baterai (BEV) Hyundai menempati posisi ke-5 dengan total penjualan 1.737 unit tepat berada di bawah BYD, Wuling, Chery, dan MG.
Fransiscus Soerjopranoto, Chief Operating Officer PT Hyundai Motors Indonesia (HMID) menjelaskan penurunan pencapaian itu karena adanya pergeseran preferensi konsumen.
"Jadi kalau sekarang, dengan masuknya mobil listrik di kelas menengah dan bawah, pastinya akan ada impact di tempatnya premium. Impact ini tidak hanya pada pasar EV, tapi juga yang ICE (Internal Combustion Engine)," katanya di Jakarta.
Sementara Hyundai, telah menegaskan posisinya di segmen menengah ke atas. Model-model seperti Stargazer dan Creta menjadi dasar produk Hyundai, sementara Palisade hingga Ioniq 5 hadir sebagai tawaran yang lebih premium.
"Namun segmen ini bukanlah yang bisa dipenuhi dengan hanya memberikan diskon atau menurunkan harga. Penurunan harga justru dapat menurunkan permintaan karena nilai produk dianggap berbeda," kata Frans.
Menghadapi dinamika tersebut, perusahaan mengakui bahwa menjaga profitabilitas dalam pasar yang menurun adalah tantangan tersendiri. Dalam situasi ini, menjaga bisnis diler menjadi prioritas utama.
Baca juga: Hyundai Mengaku Studi MPV Hybrid untuk Pasar Indonesia
Oleh karenanya, Hyundai berusaha untuk tidak terlibat dalam perang harga dan berfokus pada pertumbuhan yang berkelanjutan.
"Caranya adalah tidak terlalu ikut perang harga. Lalu tidak berusaha ambil share volume terlalu besar, sehingga pressure di diler tidak terlalu tinggi. Itulah yang menyebabkan diler akan survive sampai tahun depan setidaknya," kata Frans.
"Sebab harapan kita, Q1 2025 akan growing. Itu momentum kita lihat. Contohnya, pada Februari 2025 kan sudah ada pameran (IIMS). Kemudian lebaran di akhir Maret. Itu yang sudah kita analisa, kemungkinan besar pasar turun di Januari, Februari-Maret akan naik," lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.