Kompas.com - Terkadang saya masih takjub dengan pemecahan rekor juara dunia termuda Formula 1 (F1) dalam 12 musim terakhir. Dalam benak saya rekor itu masih dipegang pebalap Brazil Emerson Fitipaldi di musim 1972 saat berusia 25 tahun 303 hari. Kenyataannya, rekor tersebut sudah 3 kali terpecahkan oleh Fernando Alonso (2005), Lewis Hamilton (2008), dan saat ini pemegang rekornya adalah Sebastian Vettel (2010) di usia 23 tahun 133 hari.
Saya juga masih belum yakin bahwa juara seri termuda dipegang oleh Max Verstappen pada saat dia berumur 18 tahun 228 hari pada balapan seri Spanyol di Barcelona musim 2016. Lebih dahsyatnya rekor itu dibuat saat tim Mercedes F1 masih dominan dan dalam karir perdana dengan tim Red Bull Racing (RBR), setelah mendapat “berkah” karena Daniel Kvyat harus terdegradasi dan “ditukargulingkan”. Sebelumnya Max berstatus sebagai pebalap Scuderia Toro Rosso (STR).
Max Verstappen ini bocah yang terlihat sangat spesial, setidaknya di mata Dr Helmut Marko, orang yang punya pengaruh di RBR. Saat awal kemunculan di RBR banyak kalangan menilai Helmut Marko ini tidak punya jabatan di tim. Namun dia sebagai penentu akhir dari kebijakan sebelum dieksekusi oleh Christian Horner (RBR Team Principal) atau Franz Tost (STR Principal). Berkat Helmut Marko inilah Max Verstappen berubah nasib menjadi pebalap tim papan atas dan setengah mati dipertahankan agar tetap bisa bersama RBR.
Max Verstappen merupakan keturunan dari keluarga yang berkecimpung di dunia balap. Ayahnya, Jos Verstappen adalah mantan pebalap F1 dari Belanda di era 1994 sampai 2003 dengan julukan “Jos the Boss”. Ibunya, Sophie Kumpen, pebalap yang aktif di gokart. Meskipun Max berpaspor Belgia mengikuti kewarganegaraan ibunya, dia merasa lebih “Belanda” sehingga turun di balapan F1 dengan bendera Merah Putih Biru mengikuti ayahnya.
Bila dibandingkan dengan F2 atau GP3, saat ini F1 terlihat seperti engineer race dibanding driver race. Sebab, lebih banyak faktor mobil yang menentukan keberhasilan pebalap dibanding dengan kemampuan balap. Begitu juga dengan Max, meskipun sering mencetak poin ketika di STR, tetapi belum pernah sekalipun podium diraih.
Berbeda dengan saat di RBR, selain juara di Barcelona 2016, 7 podium lain pernah dia cicipi. Dari tambahan statistik itu setidaknya kita tahu bahwa keberuntungan menghampiri Max Verstappen di awal karir F1.
Pebalap nakal
Terkadang di F1 pembalap yang “nakal” akan mendapatkan apresiasi dan atensi lebih daripada yang biasa-biasa saja. Haters pun menurut pendapat saya termasuk bagian dari atensi kepada pebalap, tetapi tentu wajib didukung dengan prestasi yang mumpuni.
Apalagi beberapa kali dia terlibat langsung insiden dengan si pemegang pamor tersebut, dimulai tepatnya setahun lalu di Spa Francorchamps, GP Belgia 2016. Keagresivitasan dalam mem-block pebalap lain menimbulkan banyak komentar miring. Celakanya masih dibenarkan oleh FIA (meskipun mendapat teguran lisan dari Charlie Whiting), dan tentu saja dibela oleh Helmut Marko.
Kontroversial
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.