Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antre di Jalan Macet, Budaya Tertib Lalu Lintas yang Ditinggalkan

Kompas.com - 04/03/2023, 07:42 WIB
Dicky Aditya Wijaya,
Agung Kurniawan

Tim Redaksi

JAKARTA,KOMPAS.com - Kemacetan di sejumlah kota besar Indonesia diprediksi terus meningkat. Seperti data Tomtom International BV, menempatkan indeks kemacetan Jakarta di peringkat 29 pada 2022.

Dari kota besar lainnya, pasca-pandemi Covid-19 kemacetan diperkirakan merupakan dampak pertumbuhan ekonomi, serta masyarakat yang belum menggunakan moda transportasi umum.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by KOTA SOLO || SURAKARTA (@soloinfo)

Bila berbicara kemacetan, masyarakat banyak yang mengedepankan ego dan menanggap dirinya paling benar. Hasilnya, antara pengguna jalan saling serobot jalur dan memperparah kemacetan yang terjadi. 

Menanggapi itu, Founder & Training Director Jakarta Defensive Driving and Consulting Jusri Pulubuhu mengingatkan, pengendara roda dua atau empat sebaiknya tau diri. Perlu pula menurutnya, untuk menanamkan keselamatan di jalan merupakan hak bersama. 

Kemacetan di Jalan Dewi Sartika arah Otista menuju perempatan PGC, Jakarta Timur, Kamis (23/2/2023).kompas.com / Nabilla Ramadhian Kemacetan di Jalan Dewi Sartika arah Otista menuju perempatan PGC, Jakarta Timur, Kamis (23/2/2023).

Jusri menilai, banyak orang masih salah mengatur waktu beraktivitas dan terkesan menyepelekan. Contohnya, berangkat ke kantor dengan jarak tertentu, namun tidak menyiapkan rute yang aman untuk menghindari kemacetan. 

"Waktu tempuh itu kan bisa diperhitungkan dahulu. Misalnya, ke kantor yang berjarak 10 kilometer seharusnya (waktu) jangan terlalu mepet. Paling tidak, persiapan juga termasuk lokasi wilayah yang rawan macet dilihat dari maps. Sekalian untuk nanti mencari rute alternatif," kata Jusri. 

Baca juga: Jokowi Sebut Penjualan Otomotif Makin Tinggi, tapi Bikin Macet di Mana-mana

Meskipun terjebak macet, Jusri meminta, agar pengendara tetap mampu mengendalikan emosi. Kebiasaan orang-orang di perkotaan cenderung mudah tersulut karena beban pikiran, tuntutan aktivitas, dan terprovokasi pengguna jalan yang lain. 

Untuk menghindari provokasi, sebaiknya menurut Jusri, caranya adalah mengutamakan budaya tertib dan teratur selama berada di dalam antrean. 

"Macet ya sadar, ini jalan bukan milik kita sendiri. Pola pikirnya yang harus diubah. Menyalip di antrean itu bukan mempersingkat waktu, tapi bikin tambah macet. Akhirnya, pengendara lain juga enggak mau kalah, kacau lalu lintasnya," kata Jusri. 

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menyampaikan, penataan transportasi massal di perkotaan menjadi langkah bijak mengatasi kemacetan.

Saat bus Trans Semarang melalui Jalan Pandanaran, Kota Semarang, Jawa Tengah. KOMPAS.com/Muchammad Dafi Yusuf Saat bus Trans Semarang melalui Jalan Pandanaran, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Namun, belajar dari kondisi yang terjadi, Djoko berpendapat, kota metropolitan seperti Surabaya, Bandung, dan Semarang diharapkan dapat menerapkan larangan operasional kendaraan pribadi di ruas tertentu. Tujuannya adalah mewajibkan pegawai pemerintah, pekerja dan pelajar menggunakan kendaraan umum. 

Baca juga: Saran Pengamat Transportasi soal Kemacetan Jalan di Kota Semarang

"Ruang publik di tata untuk mengutamakan kenyamanan masyarakat. Bukan mereka tidak ingin berpindah ke transportasi umum, tetapi alasannya sangat logis. Banyak yang bilang, transportasi umum kurang nyaman, antrenya lama, bahkan dinilai mahal," terang Djoko. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau