Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eddi Wibowo
PNS

Pengawai negeri sipil (PNS) dengan jabatan analis kebijakan ahli madya.

kolom

Menanti Mobil Listrik Murah

Kompas.com - 06/09/2022, 16:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Baterai yang menjadi nyawa dari mobil listrik harus bisa didapatkan dengan harga serendah mungkin jika pemerintah hendak membangun industri mobil listrik yang kompetitif.

Yang harus dicatat, negara kita memiliki cadangan mineral bahan baku baterai yang begitu besar. Pemerintah telah mengambil langkah penting untuk mengamankan isu ini.

Kebijakan untuk tidak mengekspor bahan baku baterai mobil listrik telah ditetapkan dan menjadi bagian dari strategi besar kebijakan mobil listrik di Indonesia.

Baca juga: Luhut Klaim Ford Jadi Investasi Baterai Mobil Listrik di Indonesia

Sejalan dengan hal itu, investasi asing didorong untuk menanamkan uangnya untuk membangun pabrik baterai listrik. Protes keras dari negara-negara Eropa terkait pelarangan ekspor bahan mentah tidak menyurutkan langkah pemerintah Indonesia.

Kedua, stasiun pengisian ulang baterai. Salah satu kelebihan mobil listrik adalah pengisian ulang baterainya bisa dilakukan di sumber-sumber listrik yang berada bahkan di rumah.

Tentu ini menguntungkan, apalagi jika mobil lebih banyak dipergunakan untuk mobilitas dari rumah menuju tempat kerja. Pada situasi seperti ini mobil listrik memberikan kepraktisan operasional yang tinggi.

Sesampai di rumah, mobil tinggal dicolok ke sumber listrik dan keesokan harinya siap untuk dikendarai.

Namun, bagaimana jika mobil listrik dipergunakan untuk menempuh jarak ratusan kilometer dari rumah, menjelajah antar kota bahkan antar propinsi? Tentu ketersediaan stasiun pengisian baterai yang dapat diakses secara terbuka menjadi sangat krusial.

Bayangkan jika kita berkendara antara Jakarta ke Banyuwangi atau dari Medan ke Lampung pulang pergi dengan rute bervariasi. Tidak mungkin perjalanan dilakukan tanpa ada dukungan stasiun pengisian baterai di sepanjang rute yang dilewati.

Siapakah yang diharapkan untuk berinvestasi dalam penyediaan fasilitas ini? Apakah semuanya akan dapat disediakan oleh pemerintah.

Jika pemerintah ingin cakupan pengguna mobil listrik menjangkau wilayah-wilayah dalam skala yang luas, tentu kebutuhan itu harus bisa dipenuhi. Tanpa jaminan adanya ketersediaan fasilitas pengisian baterai, rasanya keberlanjutan operasional mobil listrik akan menjadi suram.

Ketiga, pembangkit listrik ramah lingkungan. Agenda besar dari dari kebijakan transisi energi adalah pengurangan emisi karbon secara global.

Akan menjadi antiklimaks jika pengalihan dari mobil berbahan bakar fosil menuju mobil listrik justru tetap dengan mengandalkan suplai listrik dari pembangkit listrik berbasis fosil, khususnya batu bara.

Kondisi ini yang masih kita hadapi saat ini. Perlu diketahui, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara hingga saat ini masih mendominasi suplai kebutuhan energi nasional.

PT PLN (Persero) menyebutkan, sampai tahun 2030 kapasitas terpasang pembangkit listrik dalam negeri mencapai 99,2 Giga Watt (GW). Dari jumlah tersebut, PLTU batu bara memberikan kontribusi dominan sebesar 45 persen atau 44,7 GW.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau