Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menanti Mobil Listrik Murah

Kita tahu emisi GRK adalah pemicu naiknya pemanasan global yang berujung ancaman perubahan iklim.

Sektor transportasi tidak lepas dari kendaraan berbahan bakar fosil. Selama lebih dari satu abad, teknologi otomotif dikembangkan melalui riset dan inovasi motor dengan bahan bakar berbasis bahan bakar fosil.

Konsekuensinya, ekosistem kendaraan berbahan bakar fosil telah sangat mapan. Tidak mengherankan jika kemudian isu ancaman terhadap lingkungan sebagai dampak penggunaan bahan bakar fosil yang digaungkan, memicu respon yang sangat beragam.

Pemerintah di berbagai negara akhirnya dihadapkan pada dilema kebijakan. Di satu sisi masyarakat dituntut untuk bergerak dalam aktivitas ekonomi. Namun di saat yang sama tetap memproduksi emisi karbon.

Dalam merespon kondisi tersebut, pemerintah Indonesia berketetapan untuk menggenjot upaya transisi ke energi bersih atau energi hijau. Salah satu agenda terdekatnya adalah menghentikan penggunaan mobil dengan mesin berbahan bakar fosil di tahun 2040.

Kebijakan transisi ke energi hijau sudah berjalan jauh di negara-negara Eropa. Mereka telah menjadi pionir dalam penemuan dan penggunaan energi baru dan terbarukan.

Energi tenaga bayu, tenaga surya, dan panas bumi menjadi sumber-sumber energi yang kemudian akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi yang selama ini masih disuplai dari energi fosil.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apa pilihan yang bisa ditawarkan kepada publik jika produksi mobil berbahan bakar fosil dihentikan? Dari berbagai opsi, mulai dari mobil berbahan bakar hidrogen, minyak nabati, dan listrik, ternyata mobil listrik menjadi pilihan utama.

Mobil listrik dinilai sebagai pilihan yang memberikan dampak negatif paling rendah terhadap lingkungan. Kebijakan berbagai negara industri utama serta raksasa otomotif pun mengarah ke sana.

Ekosistem mobil listrik

Indonesia yang saat ini berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa merupakan potensi pasar yang sangat besar untuk mobil listrik. Selain itu, sumber daya mineral sebagai bahan baku baterai mobil listrik tersedia berlimpah.

Bagian ini menjadi pekerjaan rumah yang panjang. Dari hulu ke hilir industri, dari aspek teknis sampai strategis, dan bahkan membangun image mobil listrik yang positif bagi masyarakat.

Akhirnya, menjadi tugas pemerintah untuk menyiapkan strategi secermat mungkin terkait setidaknya tiga isu.

Pertama, ketersediaan baterai. Memastikan adanya industri yang memproduksi baterai akan menekan harga mobil listrik.

Baterai yang menjadi nyawa dari mobil listrik harus bisa didapatkan dengan harga serendah mungkin jika pemerintah hendak membangun industri mobil listrik yang kompetitif.

Yang harus dicatat, negara kita memiliki cadangan mineral bahan baku baterai yang begitu besar. Pemerintah telah mengambil langkah penting untuk mengamankan isu ini.

Kebijakan untuk tidak mengekspor bahan baku baterai mobil listrik telah ditetapkan dan menjadi bagian dari strategi besar kebijakan mobil listrik di Indonesia.

Sejalan dengan hal itu, investasi asing didorong untuk menanamkan uangnya untuk membangun pabrik baterai listrik. Protes keras dari negara-negara Eropa terkait pelarangan ekspor bahan mentah tidak menyurutkan langkah pemerintah Indonesia.

Kedua, stasiun pengisian ulang baterai. Salah satu kelebihan mobil listrik adalah pengisian ulang baterainya bisa dilakukan di sumber-sumber listrik yang berada bahkan di rumah.

Tentu ini menguntungkan, apalagi jika mobil lebih banyak dipergunakan untuk mobilitas dari rumah menuju tempat kerja. Pada situasi seperti ini mobil listrik memberikan kepraktisan operasional yang tinggi.

Sesampai di rumah, mobil tinggal dicolok ke sumber listrik dan keesokan harinya siap untuk dikendarai.

Namun, bagaimana jika mobil listrik dipergunakan untuk menempuh jarak ratusan kilometer dari rumah, menjelajah antar kota bahkan antar propinsi? Tentu ketersediaan stasiun pengisian baterai yang dapat diakses secara terbuka menjadi sangat krusial.

Bayangkan jika kita berkendara antara Jakarta ke Banyuwangi atau dari Medan ke Lampung pulang pergi dengan rute bervariasi. Tidak mungkin perjalanan dilakukan tanpa ada dukungan stasiun pengisian baterai di sepanjang rute yang dilewati.

Siapakah yang diharapkan untuk berinvestasi dalam penyediaan fasilitas ini? Apakah semuanya akan dapat disediakan oleh pemerintah.

Jika pemerintah ingin cakupan pengguna mobil listrik menjangkau wilayah-wilayah dalam skala yang luas, tentu kebutuhan itu harus bisa dipenuhi. Tanpa jaminan adanya ketersediaan fasilitas pengisian baterai, rasanya keberlanjutan operasional mobil listrik akan menjadi suram.

Ketiga, pembangkit listrik ramah lingkungan. Agenda besar dari dari kebijakan transisi energi adalah pengurangan emisi karbon secara global.

Akan menjadi antiklimaks jika pengalihan dari mobil berbahan bakar fosil menuju mobil listrik justru tetap dengan mengandalkan suplai listrik dari pembangkit listrik berbasis fosil, khususnya batu bara.

Kondisi ini yang masih kita hadapi saat ini. Perlu diketahui, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara hingga saat ini masih mendominasi suplai kebutuhan energi nasional.

PT PLN (Persero) menyebutkan, sampai tahun 2030 kapasitas terpasang pembangkit listrik dalam negeri mencapai 99,2 Giga Watt (GW). Dari jumlah tersebut, PLTU batu bara memberikan kontribusi dominan sebesar 45 persen atau 44,7 GW.

Sisanya pembangkit gas 26 persen, PLTA 15 persen, PLTP 6 persen, PLTS 5 persen, PLT EBT 2 persenm, dan PLT EBT base 1 persen.

Fakta di atas sangat logis mengingat batu bara adalah sumber energi termurah yang tersedia. Ke depan, pertumbuhan ekonomi akan mengerek kebutuhan listrik dan tentu membutuhkan energi murah. Apalagi pasokan batu bara yang melimpah di dalam negeri dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan dalam negeri.

Di Indonesia, energi baru dan terbarukan (EBT) pertumbuhannya masih rendah, sekitar 9 MW per tahun. Konsekuensinya, batu bara masih akan dipakai sampai dengan EBT dapat menggantikan porsi energi batu bara yang cukup dominan.

Tidak hanya itu, PLTU masih menjadi andalan untuk menopang beban dasar karena bersifat stabil, tak terbatas periode atau kondisi cuaca, alam, dan lainnya. Berbeda dengan PLTU, pembangkit listrik berbasis EBT secara natural menghadapi berbagai keterbatasan.

Seperti pembangkit tenaga angin dan tenaga surya bergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Konsekuensinya, tidak semua titik di Indonesia ideal untuk membangun pembangkit EBT dan skala keekonomian masih perlu ditingkatkan.

Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) tahun 2021 mengungkapkan fakta menarik. Total penjualan mobil listrik dari berbagai merek tercatat sejumlah 630 unit. Angka yang sangat kecil dibandingkan dengan penjualan mobil bermesin konvensional yang mencapai 887.202 unit.

Di satu sisi, hal ini mengindikasikan mobil listrik perlahan mulai menunjukkan eksistensinya. Namun data tersebut juga menjelaskan bahwa mobil listrik belum menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia.

Sangat jauh apabila dibandingkan negara-negara Skandinavia yang berencana menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar dasar fosil.

Dari sisi harga, kemampuan daya beli masyarakat masih berada di bawah Rp 250 juta. Sementara, harga mobil listrik paling murah berada di kisaran Rp 600 juta.

Sangat masuk akal apabila kemudian angka penjualan mobil listrik di Indonesia belum sebesar atau tertinggal dari negara-negara lain di dunia.

Masihkah ada harapan publik mendapatkan mobil dengan harga terjangkau? Apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Sebenarnya, salah satu opsi kebijakannya adalah pemberian insentif bagi pembelian mobil listrik. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan penetrasi mobil listrik di Tanah Air.

Pemerintah Singapura, Jepang, China, Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, Italia, Portugal dan Prancis memberikan insentif dalam jumlah yang sangat besar untuk hal ini. Dampaknya jumlah pengguna mobil listri naik secara signifikan.

Akhirnya, dalam soal mobil listrik, kepentingan publik dan lingkungan harus dikedepankan. Harga mobil yang rasional sesuai kemampuan masyarakat serta dukungan ekosistem mobil listrik yang merata menjadi faktor kunci.

Jangan lupa, pemberian instentif pada dasarnya akan membebani pengeluaran negara. Rangkaian pekerjaan rumah pemerintah yang panjang dan tidak boleh terpinggirkan oleh agenda-agenda politik jangka pendek atau pergantian rejim.

https://otomotif.kompas.com/read/2022/09/06/160506715/menanti-mobil-listrik-murah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke