Sisanya pembangkit gas 26 persen, PLTA 15 persen, PLTP 6 persen, PLTS 5 persen, PLT EBT 2 persenm, dan PLT EBT base 1 persen.
Fakta di atas sangat logis mengingat batu bara adalah sumber energi termurah yang tersedia. Ke depan, pertumbuhan ekonomi akan mengerek kebutuhan listrik dan tentu membutuhkan energi murah. Apalagi pasokan batu bara yang melimpah di dalam negeri dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan dalam negeri.
Di Indonesia, energi baru dan terbarukan (EBT) pertumbuhannya masih rendah, sekitar 9 MW per tahun. Konsekuensinya, batu bara masih akan dipakai sampai dengan EBT dapat menggantikan porsi energi batu bara yang cukup dominan.
Tidak hanya itu, PLTU masih menjadi andalan untuk menopang beban dasar karena bersifat stabil, tak terbatas periode atau kondisi cuaca, alam, dan lainnya. Berbeda dengan PLTU, pembangkit listrik berbasis EBT secara natural menghadapi berbagai keterbatasan.
Seperti pembangkit tenaga angin dan tenaga surya bergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Konsekuensinya, tidak semua titik di Indonesia ideal untuk membangun pembangkit EBT dan skala keekonomian masih perlu ditingkatkan.
Daya beli masyarakat pada akhirnya menjadi faktor penentu jika pemerintah ingin mobil listrik dipakai secara luas.
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) tahun 2021 mengungkapkan fakta menarik. Total penjualan mobil listrik dari berbagai merek tercatat sejumlah 630 unit. Angka yang sangat kecil dibandingkan dengan penjualan mobil bermesin konvensional yang mencapai 887.202 unit.
Di satu sisi, hal ini mengindikasikan mobil listrik perlahan mulai menunjukkan eksistensinya. Namun data tersebut juga menjelaskan bahwa mobil listrik belum menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia.
Sangat jauh apabila dibandingkan negara-negara Skandinavia yang berencana menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar dasar fosil.
Dari sisi harga, kemampuan daya beli masyarakat masih berada di bawah Rp 250 juta. Sementara, harga mobil listrik paling murah berada di kisaran Rp 600 juta.
Sangat masuk akal apabila kemudian angka penjualan mobil listrik di Indonesia belum sebesar atau tertinggal dari negara-negara lain di dunia.
Baca juga: Berharap Harga Mobil Listrik Bisa Makin Terjangkau
Masihkah ada harapan publik mendapatkan mobil dengan harga terjangkau? Apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Sebenarnya, salah satu opsi kebijakannya adalah pemberian insentif bagi pembelian mobil listrik. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan penetrasi mobil listrik di Tanah Air.
Pemerintah Singapura, Jepang, China, Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, Italia, Portugal dan Prancis memberikan insentif dalam jumlah yang sangat besar untuk hal ini. Dampaknya jumlah pengguna mobil listri naik secara signifikan.
Akhirnya, dalam soal mobil listrik, kepentingan publik dan lingkungan harus dikedepankan. Harga mobil yang rasional sesuai kemampuan masyarakat serta dukungan ekosistem mobil listrik yang merata menjadi faktor kunci.
Jangan lupa, pemberian instentif pada dasarnya akan membebani pengeluaran negara. Rangkaian pekerjaan rumah pemerintah yang panjang dan tidak boleh terpinggirkan oleh agenda-agenda politik jangka pendek atau pergantian rejim.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.