TANGERANG, KOMPAS.com - Executive Vice President Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturing (TDEM) Pras Ganesh mengatakan, saat ini hanya sekitar 3-5 persen masyarakat yang rela untuk membayar lebih untuk beralih menggunakan kendaraan listrik.
Golongan masyarakat tersebut, berada pada segmen premium yang tak terlalu memikirkan besaran harga suatu barang di pasar. Sementara sisanya, berharap mobil listrik memiliki harga yang sama dengan kendaraan konvensional atau punya harga terjangkau.
Sehingga, perlu adanya suatu terobosan dan tahapan yang jelas dalam upaya mendorong pemerataan penggunaan kendaraan ramah lingkungan. Sebab era elektrifikasi harus bisa diakses oleh siapapun.
Baca juga: Bos Toyota Asia Menjelaskan Mengapa Fokus Dorong Hybrid dan Fuel Cell
"Data ini berdasarkan studi dari Deloitte. Pada negara berkembang, hal ini jadi penting karena ada berbagai keterbatasan," kata dia di Gaikindo International Automotive Conference (GIAC) ke-16, Kamis (18/8/2022).
Dari temuan tersebut, Pras menyimpulkan bahwa kendaraan listrik berteknologi hibrida merupakan jenis mobil ramah lingkungan yang dapat diandalkan untuk mempopulerkan era elektrifikasi.
Sementara produk plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) seperti Prius PHEV, yang memiliki tingkat efisiensi emisi dan bahan bakar lebih besar menyongsong pasar premium seperti para pembeli kendaraan kedua.
"Sebab mobil hybrid itu tidak perlu pergantian karakteristik dalam penggunaan harian. Lalu tidak memerlukan infrastruktur charging station, serta terjangkau dibanding kendaraan listrik lainnya," kata Pras.
Baca juga: Masyarakat Indonesia Mulai Antusias dengan Kendaraan Listrik
"PHEV mencangkup pasar premium dengan penggunaan jarak menengah. Ini dikarenakan harganya yang lebih mahal dan para pengguna harus mulai untuk membiasakan diri melakukan pengisian daya di charging station," lanjut dia.
Sementara battery electric vehicle (BEV) atau mobil listrik murni, di tahap awal menuju era elektrifikasi bisa dimanfaatkan sebagai transportasi publik, ride sharing, atau kendaraan yang mengantarkan masyarakat pada titik tertentu (point-to-point logistic).
Mengingat, pada segmen terkait memerlukan suatu investasi besar khususnya dalam pembangunan stasiun pengisian baterai. Belum lagi, segala ekosistem baru harus dibentuk termasuk daur ulang baterai sebagai komponen utama.
"Dalam upaya mendorong penggunaan kendaraan listrik AC charging yang bisa dimanfaatkan di rumah, merupakan salah satu kunci. Tetapi DC charging (fast charging) lebih penting lagi untuk meningkatkan populasi BEV," kata Pras.
Ia mencontohkan, di Thailand, sebagai pasar penting di wilayah Asia Tenggara, pemerintahnya harus mengeluarkan 24 miliar dollar Amerika Serikat (AS) untuk pembangunan fasilitas DC charging agar memudahkan para pengguna.
Baca juga: Menjelang Penutupan GIIAS 2022, Diskon Mobil China Capai Rp 50 Juta
Dana lebih besar dikeluarkan oleh pemerintah China dalam sektor serupa, yakni sekitar 45 miliar dollar AS. Terbukti saat ini, negeri Tirai Bambu tersebut menjadi salah satu negara dengan penggunaan kendaraan listrik yang masif.
"Adapun di Amerika Serikat sendiri, sekitar 730 miliar dollar AS. Seiring dengan hal tersebut, fasilitas charging station jadi lebih banyak dalam menjangkau para pengguna kendaraan listrik," tambahnya.
"Jadi setiap jenis kendaraan dan teknologi ramah lingkungan sangat penting diperhatikan dalam menuju zero emission. Tidak ada yang lebih baik antara satu dengan lainnya, semuanya menuju suatu tujuan yang sama," tutup Pras.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.