JAKARTA, KOMPAS.com - Era kendaraan bermotor listrik berbasis baterai atau electrified vehicle (EV) dan energi baru terbarukan diyakini semakin dekat seiring berkembangnya isu lingkungan dan tren dunia.
Bahkan, kini beberapa pabrikan otomotif raksasa mulai melakukan pergerakkan agar bisa menjadi pemain pertama dan utama dalam isu tersebut melalui studi komperhensif hingga pembuatan pabrik.
Tak ingin tertinggal, Pemerintah RI lewat Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun terus mendorong menyambut masa elektrifikasi global. Apalagi, otomotif merupakan salah satu sektor prioritas di dalam negeri.
Baca juga: Kendala Driver Ojol Saat Ingin Punya Motor Listrik
Pengembangan kendaraan listrik diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Kandungan Lokal.
“Industri otomotif merupakan salah satu sektor prioritas berdasarkan peta jalan 'Making Indonesia 4.0'," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Kamis (24/6/2021)
"Sasaran utamanya, Indonesia akan menjadi ekspor hub kendaraan bermotor, baik untuk kendaraan berbasis bahan bakar minyak (internal combustion engine/ICE) maupun kendaraan listrik,” lanjut dia.
Hanya saja, untuk mencapai target tersebut tidak mudah. Memang, Indonesia memiliki beberapa potensi dan kelebihan, tapi di sisi lain terdapat beragam tantangan pula.
Dikatakan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Taufiek Bawazier, salah satu keunggulan Indonesia untuk bisa menjadi pemain utama di kendaraan listrik ialah ketersediaan bahan baku baterai berupa nikel dan kobalt.
“Permintaan EV di dunia diperkirakan terus meningkat dan akan mencapai sekitar 55 juta unit pada tahun 2040. Pertumbuhan ini tentunya mendorong peningkatan kebutuhan baterai lithium ion (LiB),” kata Taufiek.
Baca juga: Wacana Tarif Parkir Rp 60.000 Per Jam di DKI, Kapan Mulai Berlaku?
Meningkatnya penggunaan baterai juga mendorong peningkatan pada bahan bakunya, sehingga negara dengan sumber bahan baku baterai ini nantinya memegang peranan sangat penting.
Ke depannya, lanjut Taufiek, kebutuhan baterai lithium Ion akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya isu lingkungan dan tren dunia.
“Hal ini menjadi potensi pengembangan industri baterai yang merupakan komponen utama dalam ekosistem energi terbarukan. Energi yang dikonversi dari sumber terbarukan akan disimpan dalam baterai dan akan digunakan baik secara langsung atau melalui jaringan listrik,” ucap Taufiek, menjelaskan.
Saat ini, di tanah air sudah terdapat sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai. Adapun lima perusahaan tersebut sebagai penyedia bahan baku, antara lain nikel murni, kobalt murni, nikel ferro, dan endapan hidroksida campuran. Keempat perusahaan lainnya adalah produsen baterai.
“Dengan demikian, Indonesia mampu mendukung rantai pasokan baterai mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, hingga daur ulang,” ujar Taufiek.
Menurut Taufiek, masa depan kendaraan listrik juga tergantung pada inovasi baterai yang saat ini cenderung tak menggunakan bahan baku nikel, kobalt, dan mangan, seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor.