JAKARTA, KOMPAS.com - Seperti diketahui, dampak dari kendaraan angkutan niaga yang over dimension over loading (ODOL) tak hanya berkaitan dalam hal keselamatan, tetapi juga kerugian infrastruktur yang berujung pada terkurasnya uang negara.
Menurut pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Djoko Setijowarno, cukup banyak infrastruktur jalan yang rusak akibat dilalui truk yang memiliki dimensi dan berat tak sesuai aturan.
"Dampak ODOL tak hanya dirasakan pemerintah pusat di jalan nasional, tapi juga pemerintah daerah (pemda) yang punya wewenang membangun dan memelihara jalan kota, jalan kabupaten, dan jalan provinsi," ucap Djoko yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, dalam keterangan resminya, Minggu (23/2/2020).
Baca juga: Bahas Kelebihan Spion Pintar di SUV Murah Suzuki XL7
Djoko mengatakan, adanya kerusakan jalan yang begitu cepat di daerah akibat ODOL akan menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang sebenarnya dapat digunakan untuk program lain.
Ambil contoh seperti kasus kekesalan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, yang akhirnya menghentikan truk bermuatan tanah karena merusak dan mengotori jalan. Belum lagi ditambah dengan Jembatan Cibereum yang rusak berat dan berlubang.
"Jembatan itu pembangunannya dibiayai APBD Kabupaten Lebak senilai Rp 50 miliar lebih. Akhirnya ditutup untuk diperbaiki dan tidak dapat dilewati warga untuk sementara waktu, hal yang sama tidak hanya dirasakan Pemkab Lebak saja, pasti dialami pemda lainnya," ucap Djoko.
Baca juga: Pengamat Transportasi Sarankan Jokowi Turun Tangan soal Truk ODOL
Lebih lajut Djoko menjabarkan bahwa dari data Statistik Perhubungan pada 2018, truk masih dinilai unggul lantaran memiliki aksesibilitas, cepat, dan responsif. Distribusi angkutan barang berdasarkan moda di Indonesia terbanyak menggunakan angkutan jalan (truk) 91,25 persen.
Kemudian, diikuti angkutan laut (kapal batang) 7,07 persen, angkutan penyeberangan (feri) 0,99 persen, kereta api 0,63 persen, angkutan udara (pesawat) 0,05 persen, dan angkutan sungai (perahu) 0,01 persen.
Masih lemah
Untuk permasalahan over dimension, menurut Djoko, masih banyak ditemukan truk yang beroperasi mengangkut muatan dengan ukuran melebihi ukuran yang ditentukan. Masih ditemukan ketidaksesuaian antara fisik kendaraan bermotor dengan dokumen.
Baca juga: Apa Benar Panther Sudah Stop Produksi? Ini Jawaban Isuzu
"Seperti Sertifikasi Registrasi Uji Tipe (SRUT) atau Buku Uji, serta masih ditemukan buku KIR palsu. Penindakan hukum terkait pelanggaran modifikasi kendaraan juga masih lemah," ujar Djoko.
Sementara itu, untuk over loading, seperti pelanggaran muatan dengan muatan lebih dari 100 persen dari yang diizinkan atau rata–rata dari kendaraan dua sumbu, tiga sumbu, atau lebih adalah berkisar pada 20 ton per sumbu.
Denda yang diberikan pengadilan bukan merupakan denda maksimal, dan isu yang berkembang terkait over loading dilakukan oleh pemilik barang, bukan transporter atau pemilik armada.
Truk dipotong
Lantas, seperti apa sebenarnya upaya yang dilakukan Kemenhub untuk memberantas peredaran ODOL.