Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Insentif Bahan Baku Baterai, Jangan Malah Mematikan Produsen Lokal

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah RI melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) berencana untuk mengeluarkan insentif baru untuk pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan baku impor litium pada 2023.

Rencana ini dilakukan sebagai upaya mempercepat era elektrifikasi kendaraan bermotor, terutama urusan baterai. Mengingat seluruh kendaraan elektrifikasi menggunakan baterai dan merupakan komponen termahal yang digunakan.

Dengan rencana insentif ini, diharapkan bisa mendorong produksi baterai lokal dan bisa jadi semakin murah.

Menanggapi hal itu, PT International Chemical Industry (Intercallin) sebagai produsen baterai lokal Indonesia yang sudah memproduksi cell lithium pada awal 2022 mengaku mendukung usulan terkait.

Hanya saja, masih terdapat sejumlah aspek yang perlu diperjelas seperti bahan-bahan apa saja yang akan dibebaskan tarif impor dan durasi atau batas waktu pemberiannya.

"Industri baterai itu rangkaiannya panjang sekali dan masih banyak rantai industri yang kita belum punya, khususnya pada sektor hulu (pengolahan bahan mentah). Ini juga industrinya beda-beda meski sama-sama di sektor baterai (banyak cabang)," kata Direktur Pemasaran PT Intercallin Hermawan Wijaya kepada Kompas.com, Sabu (10/12/2022).

"Seperti ada pack, ada cell, material bahan baku cell, percusor, katoda, sampai bahan kimia, smelter, refinery, dan lainnya. Masing-masing itu punya bidangnya masing-masing dan butuh keilmuan atau keahlian khusus. Tentu manajemen produksinya berbeda pula," lanjut dia.

Jangan sampai, ujar Hermawan, pemberian pembebasan tarif impor bahan baku baterai ini tidak diperjelas karena berpotensi untuk mematikan industri lokal. Cukup beberapa sektor atau bagian yang memang diperlukan saja untuk membangun ekosistem baterai kendaraan listrik.

Kemudian, apakah bahan terkait dapat menggunakan fasilitas perjanjian dagang bilateral atntara China dan Indonesia, atau Indonesia-Australia Comperhensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) karena litium kabarnya akan diimpor dari Negeri Kanguru.

"Lalu, apakah kebijakan ini untuk sesaat atau jangka panjang? Mungkin itu yang perlu untuk dipertanyakan karena bila jangka panjang, menurut saya juga kurang bagus," kata dia.

Sebab, menurut pandangannya, jika suatu bahan baku dibeli dari luar negeri agar diolah jadi bahan setengah jadi atau jadi di dalam negeri, bisa menambahkan nilai tambah sekaligus membangun industri dalam negeri.

Joint Venture

"Tetapi, untuk jangka panjang, kalau industri jenis tersebut sudah dikuasai oleh asing, terus Indonesia ini mau ngapain? Secara ekonomi memang ada nilai tambah, tapi secara industri lokal khususnya UKM, tidak bisa tumbuh jadi semakin besar," kata Hermawan.

"Mentok-mentok jadi pekerja atau pendukung-nya saja tidak dapat menjadi pemilik serta pengusaha besar. Maka, aspek ini perlu diperhatikan, yaitu nasib pengusaha atau industri Indonesia-nya. Apakah bisa mengikuti atau malah tidak bisa ngapa-ngapain nanti," lanjut dia.

Jika Indonesia hanya mengandalkan suatu joint venture pada perusahaan asing yang akan masuk ke industri baterai kendaraan listrik dengan pembagian 50:50, menurut Hermawan, bakal menjadi kesalahan fatal.

Sebab, dalam perjanjian dagang biasanya perusahaan pemilik akan menetapkan biaya-biaya terkait lisensi sampai technical assistance. Beban ini menjadi keuntungan perseroan sebagai pemilik resmi brand.

"Misalnya ditetapkan 3 persen. Jadi setiap satu penjualan, berapa pun harganya, mau jual untung atau rugi, kita harus memberikan 3 persennya ke pemilik. Secara TKDN memang bisa besar, devisa pun tumbuh, tapi siapa yang paling untung?" ujar dia lagi.

Sebelumnya diketahui, pemerintah berencana membebaskan bea masuk dan PPN beberapa bahan untuk produksi baterai di dalam negeri.

Ini diwacanakan saat diinisiasikannya industri terpadu di kawasan Morowali, Sulawesi Tengah, lewat pembangunan kilang litium yang dikerjakan investor asal China.

Dengan demikian, kebijakan pembebasan bea masuk dan PPN jadi krusial untuk menambal sejumlah bahan baku yang tidak ada di dalam negeri. Misalkan dari sisi pertambangan, Indonesia tidak memiliki sumber daya litium.

Selanjutnya dari sisi midstream di tingkat pengilangan, Indonesia tidak memiliki bahan baku sodium karbonat, asam klorida, dan agen ekstraksi. Sementara itu, pada tahap hilirisasi lanjutan untuk pembuatan prekursor, industri domestik belum memiliki sodium hidroksida.

Sementara pada tahap perakitan akhir baterai, Indonesia tidak memiliki separator, elektrolit, foil tembaga, dan aluminium foil.

https://otomotif.kompas.com/read/2022/12/12/072200915/insentif-bahan-baku-baterai-jangan-malah-mematikan-produsen-lokal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke