Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Success Story Presdir PT Federal Karyatama Patrick Adhiatmadja

Tempaan hingga Titik Terendah Perjalanan Karier Bos Federal Oil

Kompas.com - 27/05/2015, 08:00 WIB
Agung Kurniawan

Penulis

Jakarta, KompasOtomotif - Menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis di GE, tidak membuat Patrick Adhiatmadja cepat puas kala itu. Apalagi, pada 1996 perekonomian Indonesia tengah dalam kondisi terbaik, bahkan sempat dijuluki "Macan Asia". Kemudian Patrick bertemu dengan salah satu sahabat dari kecil yang tumbuh bersama dan mengajaknya untuk wirausaha.

"Dulu itu ajakannya, buat apa kerja sama orang lain. Kalau mau kaya ya usaha sendiri. Ekonomi lagi bagus begini, mau usaha apa saja pasti maju. Ajakan ini membuat diri saya tertantang, apalagi sudah merasa banyak pengalaman bekerja sebagai profesional di perusahaan," ucap Patrick.

Setelah tiga tahun bekerja di GE, Patrick memutuskan untuk mengundurkan diri dan memulai usahanya sendiri. Mulai mendirikan perusahaan konsultasi finansial dan berbagai proyek serabutan lainnya. Dalam perjalanannya, Patrick juga coba mempelajari kesuksesan produk sepatu Nike asal Amerika Serikat (AS) yang berhasil mendunia, padahal tanpa pabrik.

Alumnus fakultas Teknik Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan ini mulai mempelajari ilmu Branding. Mencari tahu bagaimana Nike bisa dikenal orang di seluruh dunia, bahkan sampai mempekerjakan ribuan orang. Lewat ketertarikan ini, ia mulai belajar berbagai hal lain, mulai dari istilah outsource dan lain sebagainya.

Selain tetap menjalankan aktivitasnya sebagai konsultan, Patrick juga berniat membuat usaha baru di bidang garmen, menciptakan merek mengarah pada kebutuhan sandang anak-anak. "Dulu anak saya masih kecil, mitra saya juga baru punya anak. Dulu kalau mencari baju anak itu sulit sekali, adanya yang murah, beli kodian di Mangga Dua atau mahal sekalian, produk impor. Belum ada yang membidik segmen menengah," ingat Patrick.

Pengalaman pahit

Lewat semangat yang sama, akhirnya Patrick dan mitra mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang apparel dan furniture, dengan merek dagang "Anak". Awal bisnis berjalan, penerimaan di pasar sangat baik. Sekaligus menggelitik idiom soal perusahaan lokal, di mana kalau dikelola dengan baik dan ada pasar, maka bisa berhasil.

"Dulu cita-citanya sudah ke regional, karena Anak itu artinya sama di Filipina di Malaysia, Brunei, Singapura. Jadi kita mengarah ke sana. Lagi semangat-semangatnya, eh krismon (krisis moneter) di mulai 1997, 1998 kerusuhan pecah," kenang Patrick.

Melihat kondisi pasar domestik yang lagi keruh, sempat tercetus untuk mengalihkan pasar ke ekspor. Tapi, kenyataan berkata lain. Patrick baru mengetahui kalau bahan baku setengah jadi, seperti benang, katun, kancing, bahkan sampai pewarna tekstil yang digunakan di pabrik garmen masih impor. Kondisi ekonomi dunia yang tidak mementu membuat perusahaan pemasok minta naik harga karena rupiah melemah terhadap dollar AS.

Alhasil, harga kaos yang tadinya Rp 50.000 per potong, terkerek naik jadi Rp 100.000. Di sisi lain daya beli masyarakat lagi lesu karena krismon. "Kondisinya sudah amburadul lah, akhirnya 1999, saya dan mitra memutuskan untuk tidak melanjutkan usaha, tapi tidak kabur. Melainkan menutup usaha dengan jalan yang benar. Istilahnya, dulu buat perusahaan itu dua minggu jadi, menutupnya butuh waktu setahun," kelakar Patrick.

Kondisi ini membuat Patrick mengalami titik terendah dalam perjalanan kariernya. Meski demikian, pria berdarah Jawa ini mengaku tetap menjalin hubungan baik dengan mitranya sampai sekarang, meski sudah tidak bisa bekerja sama lagi. "Dulu itu lumayan lah, seluruh tabungan saya habis karena kondisi itu. Akhirnya, tahun 2000 saya berfikir ulang, sambil liburan di AS, menenangkan pikiran," ucap Patrick.

KOMPAS.COM / RODERICK ADRIAN MOZES Presiden Direktur PT Federal Karyatama, Patrick Adhiatmadja, dalam sesi wawancara dengan Kompas.com di Gedung PT Federal Karyatama, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (20/5/2015).

Ketika berjalan di salah satu jalan utama di Manhattan, New York, AS, Patrick melihat salah satu etalase gedung yang menampilkan berita pemboman kantor Bursa Efek Jakarta (BEJ). Peristiwa ini dianggapnya sebagai 'wangsit' dari Tuhan, sehingga menghentikan langkahnya sebagai pengusaha dan berniat kembali ke jalur profesional.

Akhirnya, setelah kembali di Indonesia, Patrick mencari pekerjaan lagi. Berlatar belakang dunia Teknologi Informasi, membuatnya sempat menjabat sebagai direksi di beberapa perusahaan, seperti Lucent Technologies Asia/Pasific Incorporated, periode 2000-2003. Kemudian pindah ke Motorola Networks Asia periode 2003-2007.

Private equity

Pada 2007, Patrick kemudian di ajak salah satu mitranya untuk bergabung dalam perusahaan pengelola investasi (private equity/PE) di bidang telekomunikasi dan infrastruktur. PE bisa dikenal juga sebagai "Broker Legal", atau perusahaan pengelola investasi yang mendapat sponsor atau sokongan dana dari berbagai pihak, baik individu maupun institusi.

Biasanya, tugas PE mencari perusahaan bermasalah yang layak dikucurkan investasi, lantas ditingkatkan kinerjanya, kemudian setelah sehat dijual kembali dengan nilai lebih besar.

Setelah beberapa bulan berjalan, Patrick lantas di minta sebagai perwakilan mereka (para investor) pada salah satu proyek. Kesempatan ini, tak disia-siakan karena Patrick melihatnya sebagai proses pembelajaran. Punya pengalaman bekerja di dunia IT mulai dari kelas wiraniaga di Metrodata sebagai vendor, kemudian bergeser ke Motorola sebagai prinsipal, kini memposisikan diri sebagai investor lewat PE.

"Dunianya tetap IT dan telekomunikasi, hanya posisi perusahaan di mana saya bekerja berbeda-beda. Menurut saya ini menjadi komplet pengalamannya," ucap Patrick.

Kala itu, proyek yang dikerjakan adalah membangun jaringan kabel serat optik pertama, menghubungkan sambungan internet Jakarta dengan Singapura. Berkat koneksi ini, internet menjadi "meledak" di Indonesia, seperti sekarang ini karena koneksinya jauh lebih cepat.

Setelah empat tahun bergulir, akhirnya Patrick kembali bertemu dengan kawan lamanya memintanya untuk bergabung ke salah satu perusahaan lokal di bawah naungan Grup Saratoga. Perusahaan yang dikelola di bawah pangkuan keluarga Soeryadjaya itu mengajak Patrick untuk bergabung ke salah satu anak perusahannya, PT Mitra Pinasthika Mustika berpusat di Surabaya, Jatim.

"Sahabat saya lagi ada kerjaan bersama Grup Saratoga bersama Sandiaga Uno. Kebetulan Sandiaga dulunya alumi PL (SMA Pangudi Luhur), akhirnya diajak gabung. Situasinya, MPM tengah berada di persimpangan untuk mulai menetapkan arah baru perusahaan (turnaround). Bisnis utama MPM adalah berjualan sepeda motor di Jatim dan oli, dengan merek sendiri Federal.

"Saya baru dengar, nggak tahu apa-apa soal otomotif. Sebelum bilang iya, saya lihat data-data perusahaan dulu, ternyata perusahaan ini untung. Ternyata perusahaan ini sudah beralih kepemilikan dari perusahaan keluarga Soeryadjaya menjadi Saratoga, sehingga butuh pengembangan bisnis ke depan, karena melibatkan investor lain di sana. Menarik juga, relatif lebih mudah ketimbang perusahaan yang sekarat, jadi saya balik lagi ke perusahaan lokal, tapi tetap profesional" beber Patrick.

Bagaimana sepak terjang Patrick di dalam perusahaan Grup Saratoga, simak kelanjutannya di cerita berikutnya. (Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com