Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fakta Kasus Tabrakan Ferrari di Senayan, Sopir Ngebut dan Ngantuk

Kompas.com - 09/10/2023, 14:15 WIB
Aprida Mega Nanda,
Azwar Ferdian

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada fakta terbaru dari kasus tabrakan mobil super Ferrari di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, yang terjadi pada Minggu (8/10/2023).

Kasubdit Gakkum Polda Metro Jaya AKBP Jhoni Eka Putra menyebut, sopir Ferrari memacu mobil dengan kecepatan tinggi dan dalam kondisi mengantuk sehingga tabrakan dengan lima kendaraan lainnya tak terhindarkan.

“Menurut keterangan pengemudi, memang dalam kondisi mengantuk, jadi saat pengereman dalam kecepatan 100 Km per jam (Kpj), terjadi kecelakaan,” kata Jhoni, dikutip dari Kompas.com, Senin (9/10/2023).

Baca juga: Besaran Denda Tilang Uji Emisi, Maksimal Setengah Juta Rupiah

Tak sedikit kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh kecepatan kendaraan yang tidak terkontrol. Bahkan kecepatan kendaraan menjadi salah satu penyebab paling utama kecelakaan.

Soal regulasi kecepatan melajukan mobil, sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 23 ayat 4, yaitu:

a. Paling rendah 60 kpj dalam kondisi arus bebas, dan paling tinggi 100 kpj untuk jalan bebas hambatan.
b. Paling tinggi 80 kpj untuk jalan antarkota.
c. Paling tinggi 50 kpj untuk kawasan perkotaan.
d. Paling tinggi 30 kpj untuk kawasan permukiman.

Ilustrasi rambu batas kecepatan maksimal yang diperbolehkan.Sebastian Bozon / AFP Ilustrasi rambu batas kecepatan maksimal yang diperbolehkan.

Lebih rinci, kecepatan yang diatur untuk kawasan perkotaan adalah paling tinggi 50 kpj. Jalan pada kawasan perkotaan yang dimaksud terdiri atas:

-Jalan nasional yang berupa arteri primer, kolektor primer, arteri sekunder, kolektor sekunder, lokal sekunder.

-Jalan provinsi yang berupa kolektor primer, kolektor sekunder, lokal sekunder, dan jalan strategis provinsi.

-Jalan kabupaten atau kota yang berupa jalan umum pada jaringan jalan sekunder di dalam kota.

Bagi para pelanggar, sesuai aturan tersebut, bisa terancam sanksi pidana kurungan dua bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.

Training Director Safety Defensive Consultant Indonesia (SDCI) Sony Susmana mengatakan, faktor paling besar penyebab kecelakaan di jalan raya adalah kesalahan pengemudi. Ada saja kejadian mobil menabrak benda lain karena pengemudinya mengantuk.

“Menyetir sambil mengantuk sudah jelas bisa membahayakan dirinya dan orang lain. Mengantuk bisa membuat pengemudi berada di posisi setengah sadar. Artinya, mata tidak bisa membaca lalu lintas dengan benar dan itak sudah tidak dapat merespon situasi lingkungan,” kata Sony.

ilustrasi lelah mengemudiKompas.com/Fathan Radityasani ilustrasi lelah mengemudi
Sony melanjutkan, pengemudi yang mengantuk setengah dari pikirannya sudah berada di bawah alam sadar. Jadi tentu ketika menyetir, pengemudi tidak bisa membaca situasi lalu lintas yang ada di depannya.

“Perilakunya loss, ketika mengemudi ya hanya lurus tanpa kontrol dan berhenti ketika sudah menabrak objek di depan atau samping kiri kanannya,” kata Sony.

Baca juga: Besaran Denda Tilang Uji Emisi, Maksimal Setengah Juta Rupiah

Menurut Sony, mengantuk sebetulnya adalah hal yang disadari oleh pengemudi. Hanya saja mereka malas untuk beristirahat, dan tak sedikit yang merasa tanggung atau ingin cepat sampai tujuan padahal sudah mengantuk.

Tidak jarang juga yang bertindak menyiasati dengan merokok, ngobrol, minum kopi bernyanyi dan sebagainya, padahal otak sudah lemah.

“Cara benar menyiasati kantuk adalah harus berhenti, tidur atau lakukan refresh merangsang otot, otak dan syaraf,” ujar Sony.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com