JAKARTA, KOMPAS.com - Saat perusahaan otomotif dunia berlomba-lomba untuk beralih ke mobil bertenaga listrik dengan basis baterai, industri mobil Jepang malah tampak terkesan lamban.
Padahal telah banyak studi yang menyebutkan bahwa mobil listrik murni (electrified vehicle/EV) memiliki tingkat efisiensi yang tinggi pada konsumsi energi dan penggunaan harian.
Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia Arcandra Tahar memprediksi, hal tersebut dikarenakan lima faktor yakni kesiapan pasar, ketersediaan bahan baku, sampai industri itu sendiri.
Baca juga: Masa Transisi Mutlak supaya Kendaraan Listrik Sukses di Indonesia
"Sebut saja Toyota dan Honda. Sebagai market leader di dunia, mereka belum terlihat serius untuk bertanding di bidang EV,” ujar Arcandra melalui laman Instagramnya, Senin (24/5/2021).
Sementara itu, lanjut Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) tersebut, hanya Nissan yang sudah sempat masuk dalam kompetisi EV sejak sepuluh tahun terakhir lewat Leaf.
Mereka berhasil menjual lebih dari setengah juta unit hingga tahun lalu. Bahkan di tahun 2020, angka penjualan Leaf hampir sama dengan penjualan Tesla.
"Lantas kenapa mereka terlihat tidak antusias. Apakah Jepang tak percaya dengan kontribusi internal combustion engine (ICE) vehicle terhadap perubahan iklim atau ada sebab lain?" ujarnya
Menurut Arcandra ada beberapa hal yang bisa dijadikan jawaban, alasan mengapa pabrikan Jepang terkesan lamban dan enggan berpartisipasi dalam menciptakan kendaraan berteknologi listrik yang ramah lingkungan.
Baca juga: Angkot sampai AKAP Mau Diganti Jadi Bus Listrik
“Pertama, Japan automaker mungkin belum percaya bahwa EV merupakan solusi terbaik untuk membantu mengurangi emisi gas buang,” duganya.
Menurut perusahaan automaker Jepang, mobil dengan kombinasi gasoline dan electric (hybrid) harus didorong dalam masa transisi dari mobil berbahan bakar fosil ke EV atau mobil listrik, strategi tersebut banyak sekali memakan dana.
Sementara dana yang sudah dikeluarkan untuk mengembangkan mobil hybrid di Jepang perlu waktu untuk balik modal.
Alasan kedua, mereka mungkin belum melihat kebutuhan pasar yang significant terhadap EV. Hal tersebut sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
"Untuk diketahui saja, volume penjualan mobil listrik kurang dari 3 persen dari total penjualan mobil secara global," kata Arcandra.
"Kurangnya minat konsumen terhadap EV atau mobil listrik ini mungkin disebabkan oleh harganya yang lebih mahal, jarak tempuh yang pendek dan lamanya waktu pengisian ulang daya," katanya.
Ketiga, Japan automaker sudah agak telat untuk masuk ke gelanggang persaingan. Selain nama-nama besar yang sudah bertarung seperti General Motor, Volvo dan Mercedes, banyak pemain baru yang mulai masuk dan mampu bersaing dengan nama-nama besar tersebut seperti Tesla dan Nio dari Cina.
Lebih lanjut Arcandra menjelaskan, dengan kompetisi yang ketat plus hadirnya sejumlah kompetitor baru, sepertinya susah bagi merek mobil Jepang untuk bersaing dan mendatangkan profit atau keuntungan dengan mudah di masa mendatang.
Itulah sebabnya, produsen mobil Jepang lebih memilih bertahan dengan teknologi hybrid.
"Keempat, Japan automaker menganggap bahwa EV bukanlah teknologi yang ramah lingkungan kalau sumber energi listrik untuk charging berasal dari bahan bakar fosil,” kata Arcandra.
Baca juga: Rawan Rem Blong, Begini Cara Aman Transaksi di Gerbang Tol
Menurut Arcandra, alasan mengapa automaker Jepang terkesan lamban dalam mengembangkan EV, karena menurut mereka mobil listrik hanya memindahkan kontribusi emisi gas buang dari mobil ke pembangkit listrik.
Apalagi pembangkit listrik di pabrik mobilnya juga berasal dari bahan bakar fosil. Alasan tersebut juga yang menjadi alasan automaker Jepang lebih memilih mengembangkan mesin dengan bahan bakar hydrogen.
Alasan kelima menurut Arcandra, yaitu pemerintah Jepang mungkin belum siap untuk kehilangan lapangan pekerjaan karena teknologi mobil listrik lebih sederhana dan mudah untuk membuatnya.
“Ekosistem dari supply chain untuk mobil yang berbasis bahan bakar fosil akan hancur yang berakibat kepada ekonomi negara. Jepang kelihatannya sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil aksi,” ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.