JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meyakini bahwa potensi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam era kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) khususnya pada komponen baterai terbuka lebar.
Hanya saja ada beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama terkait hilirisasi tambang mineral. Sebab, Tanah Air punya sumber yang sangat kaya tapi belum dimanfaatkan secara optimal.
Menurut Luhut, sudah berpuluh-puluh tahun Indonesia hanya mengekspor hasil tambang sebagai bahan baku atau raw material saja.
Baca juga: Era Mobil Listrik Semakin Dekat, Kemenhub Teken Aturan Uji Tipe
Sebagai contoh, berdasarkan data Kemenko Maves, pada tahun 2018 ekspor bijih nikel dari dalam negeri mencapai 19,25 juta ton dengan harga 31 dollar AS per ton. Padahal, jika bijih nikel itu diolah jadi beberapa produk turunan seperti stainless steel slab, maka nilai tambahnya bisa meningkat signifikan.
"Bijih nikel yang diproses menjadi stainless steel slab dapat meningkatkan nilai ekspor 10,2 kali lipat," ujarnya dalam diskusi virtual.
Tak hanya itu, pada periode yang sama Indonesia juga tercatat telah mengekspor 8,65 juta ton bauksit senilai 263 juta dollar AS dengan harga 30 dollar AS per ton.
Nilai ekspor bisa meningkat 3,95 kali lipat ketika yang dijual adalah produk turunannya yaitu alumina. Indonesia sudah mengekspor alumina sebanyak 3,46 juta ton dengan harga 300 dollar AS per ton.
Baca juga: Kemenperin Sosialisasikan Pakai Kendaraan Listrik di Tengah Pandemi
Indonesia juga mengekspor produk turunan alumina, yaitu aluminium ingot sebanyak 1,73 juta ton dengan harga 1.700 dollar AS per ton atau senilai 2,94 miliar dollar AS.
“Dahulu Indonesia hanya ekspor bauksit saja. Sekarang kita sudah di tahap bangun smelter grade alumina yang bisa hasilkan aluminium ingot sampai produk elektrikal dan komponen otomotif,” kata Luhut.
Tak sampai di sana, hilirisasi juga diupayakan untuk dilakukan pada produk tembaga yang diimplementasikan melalui pembangunan smelter tembaga di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara. Olahan tembaga dapat menghasilkan asam sulfat yang berguna untuk pembuatan baterai lithium.
Luhut mengaku, pemerintah punya visi agar program hilirisasi seperti nikel, bauksit, termasuk tembaga bisa saling terintegrasi sehingga menghidupkan industri baterai lithium yang tak lain merupakan komponen terpenting kendaraan listrik.
Baca juga: Diajak Kerja Sama Bareng Pindad buat Bikin Maung, Ini Kata Toyota
Di samping itu, negara-negara Eropa sudah berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil di tahun 2030. Sementara pada periode 2025-2027, diperkirakan pengguna kendaraan listrik semakin meningkat.
"Jadi kita harus mulai, jangan disiakan. Cadangan mineral pembuatan baterai lithium di Indonesia sangat melimpah," kata Luhut.
Hal ini juga merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk mencapai Paris Agreement yang merupakan kerangka kebijakan jangka panjang bagi negara-negara untuk mengurangi emisi karbon pada 2030.
“Itu kan tinggal 10 tahun lagi. Itu yang kita targetkan. Pada 2025-2027 juga mereka mulai terapkan berapa puluh persen harus pakai mobil listrik. Secara bertahap kita mengarah ke sana,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.