JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana kenaikan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) di DKI Jakarta, mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Selain masyarakat dan produsen kendaraan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga ikut memberikan komentar.
Ketua Umum Harian YLKI Tulus Abadi, mengatakan, naiknya tarif BBNKB menjadi 12,5 persen untuk wilayah Jakarta perlu dikaji ulang. Bila alasanya untuk menyusul daerah lain atau mengantisipasi masyarakat membeli kendaraan baru, hal tersebut tidak tepat dilakukan.
"Jangan membandingkan dengan daerah lain yang sudah naik, karena DKI juga sudah mendapat banyak pendapatan. Menurut saya, DKI sudah melimpah ruah dan tidak tepat lalu langsung menaikkan tarif dari pada kendaraan bermotor," ujar Tulus saat dihubungi Kompas.com, Rabu (26/6/2019).
Baca juga: Kenaikan Tarif BBNKB, Tekan Pembeli Kendaraan Baru dari Daerah
Menurut Tulus, alasan menaikkan biaya BBNKB sangat tidak relevan bila hanya sebagai upaya guna menekan masyarakat daerah membeli kendaraan baru di Jakarta karena pajaknya yang belum naik.
Sementara bila dikaitkan dengan upaya mencegah kemacetan lalu lintas akibat peredaran kendaraan baru, Tulus menggangap hal tersebut juga cukup dilematis. Pasalnya, bila dengan tarif BBNKB yang hanya naik 2,5 persen dari sebelumnya, tidak akan menyurutkan niat masyarakat untuk membeli kendaraan.
Biaya BBNKB yang diusulkan naik menjadi 12,5 persen dianggap Tulus sangat kecil nilainya bila dibandingkan kemampuan masyarakat yang terus meningkat setiap tahun untuk membeli sepeda motor maupun mobil baru.
Baca juga: Ini Tujuan Kenaikan Bea Balik Nama DKI Jakarta
"Kalau naik 2,5 persen rasanya tidak akan signifikan membuat orang berpikir ulang membeli kendaraan baru. Jadi bila dikaitkan dengan mencegah kemacetan itu juga tidak tepat," kata Tulus.
"Harusnya untuk menekan kemacetan itu didorong dengan adanya kebijakan pembatasan kendaraan, seperti ganjil-genap atau menerapkan electronic road pricing (ERP) yang dari dulu sampai saat ini tidak ada kejelasannya. Jadi tidak akan berefek, yang ada hanya menjadi menggali pendapatan dari pajak saja, ujungnya memberatkan konsumen," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.