Bangkok, KOMPAS.com – Rencana Pemerintah Indonesia menggulirkan regulasi pengembangan kendaraan listrik dalam waktu dekat, masih terasa prematur. Pasalnya, menciptakan era kandaraan listrik itu bukan sebatas regulasi tapi harus membangun budaya baru yang belum pernah ada sebelumnya, bukan hanya di Indonesia, tetapi negara lain di dunia.
Dengan alasan ini, Kompas.com kemudian melakukan riset langsung ke Bangkok, Thailand, kota yang dijuluki Detroit of ASEAN, Selasa (30/1/2018). Melihat langkah kongkret yang dilakukan demi menuju era kendaraan listrik di lingkup ASEAN, termasuk Indonesia.
Mengapa Thailand?
Pemerintah Thailand begitu besar kemauannya mendorong elektrifikasi kendaraan masuk ke dalam industri. Demi menciptakan industri yang kuat, dibutuhkan pasar yang mengerti soal karakteristik kendaraan listrik seperti apa. Demi terwujud target itu, langkah sosialisasi soal kendaraan listrik dilakukan.
Ada dua kampus utama di Ibu Kota Thailand yang kami sengaja kunjungi karena mulai menciptakan budaya kendaraan listrik kepada para kaum intelektual. Pihak yang dianggap mampu menerima perubahan cepat dalam hal teknologi transportasi.
Baca juga : Usai Coba Ezzy II, Jokowi Komitmen Dukung Mobil Listrik Anak Bangsa
KMUTT
Kampus pertama yang kami kunjungi, adalah King Mongkut’s University of Technology Thonburi (KMUTT), di Bang Mot County, Thung Khru, Bangkok. Kampus ini terasa modern tetapi asri, banyak pohon rindang hidup di sekeliling gedung-gedung bangunan ruang kelas, laboratorium, gor, sampai lapangan sepak bola. Luas kampus ini mencapai 21 hektar dan berdiri sejak 18 April 1960. Sesuai namanya, beberapa jurusan andalan di KMUTT adalah seputar teknologi, engineering, dan arsitektur.
Ibarat satu negara, kampus ini punya kebijakan dan regulasinya sendiri. Dikutip dari situs resmi KMUTT, dalam hal kebijakan transportasi, kampus ini membatasi penggunaan mobil pribadi. Pihak kampus juga memastikan budaya, beralih dari pengguna mobil pribadi ke moda transportasi massal yang lebih jangka panjang, seperti bis, van, sepeda, atau bahkan jalan kaki.
Kampus ini juga menargetkan mampu mengurangi gangguan lingkungan, dengan memulai kebijakan lalu lintas yang berkelanjutan, dengan mengelola prakarsa mobilitas, salah satunya membatasi penggunaan mobil.
Pada 2016, sebelum isu mobil listrik booming di Indonesia, KMUTT sudah meluncurkan program Bus Kendaraan Listrik, berjuluk “Hop off-Hop On”. Terlihat sedikitnya dua unit mikro bus listrik murni (battery electric vehicle/BEV) yang seliweran di seputar kampus, digunakan untuk sarana transportasi publik.
Mikro bus listrik ini berhenti mengangkut dan menurunkan mahasiswa di titik-titik pemberhentian di setiap fakultas dan halte yang sudah ditentukan. Sekali angkut bus ini bisa mengantar 12 orang.
Desainnya, sederhana, bahkan didesain tanpa pintu, jadi mirip mobil-mobil yang biasa dioperasikan di taman bermain atau lokasi wisata di Indonesia. Tetapi, konsepnya menciptakan budaya yang ramah pada teknologi kendaraan listrik, boleh diacungi jempol. Belum lagi menciptakan budaya berbagi (sharing) yang biasa dilakukan merek-merek besar otomotif dunia, dalam mengembangkan budaya EV. Hebatnya, program ini dilakukan sama sekali tanpa ada embel-embel merek otomotif manapun.
Baca juga : Toyota Siapkan Rp 180 T buat Baterai Mobil Listrik
Target Indonesia
Sesuai dengan Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017, tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Isinya, fokus untuk mendorong pihak-pihak kunci untuk memenuhi target penurunan polusi udara dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Salah satunya, adalah merekayasa kebijakan di sektor transportasi, termasuk otomotif di dalamnya.
Dalam regulasi itu, pemerintah menargetkan pengembangan kendaraan bertenaga listrik atau hybrid pada 2025, akan mencapai populasi 2.200 unit untuk mobil dan 2,1 juta unit sepeda motor.