JAKARTA, KOMPAS.com - PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengungkapkan terdapat pekerjaan rumah (PR) besar yang harus diselesaikan supaya Indonesia mampu menjadi pemain inti dalam industri kendaraan bermotor listrik atau elektrifikasi.
Persiapan ini tak hanya sekadar meliputi infrastruktur dan model bisnis yang akan dijalankan saja. Tetapi juga termasuk industri komponen lokal sebagai pemasok, Sumber Daya Manusia (SDM), hingga kebijakan pemerintah yang efektif dan proporsional.
Sebagai contoh, Indonesia harus memiliki kebijakan yang konsisten dan mampu melihat prospek yang realistis dalam jangka menengah, lima sampai 10 tahun ke depan. Sehingga investor maupun pelaku bisnis tertarik dan bisa melaksanakan berbagai strategi berkesinambungan (long term).
Baca juga: Toyota Yakin Ekspor Mobil Buatan Indonesia Bisa Kalahkan Thailand
"Sebab mereka yang ingin investasi kan harus melihat return of investment. Hal tersebut tidak bisa dilihat hanya dalam kurun waktu 1-2 tahun, tapi 5-10 tahun. (Target) hal itu juga jangan terlalu besar sehingga tak realistis, juga jangan (terlalu) kecil," kata Direktur Hubungan Eksternal TMMIN Bob Azam, Rabu (25/1/2023).
"Semisal pada 2030, sebenarnya market kita berapa sih? Kita harus punya, dan angka itu disepakati bersama pemerintah, pelaku bisnis, dan asosiasi. Sehingga banyak yang bisa kita lakukan dan persiapkan, jangan tidak terlihat ," ucap Bob, melanjutkan.
Lebih jauh, berikut tiga tantangan yang harus diselesaikan oleh Indonesia menurut Toyota untuk menuju era elektrifikasi:
Bob menyatakan, kekuatan industri komponen lokal menjadi faktor kritikal ketika terjadi peralihan suatu teknologi. Sebab di sektor otomotif, 70 persen kegiatan produksi dilakukan di sana sementara sisanya dikerjakan oleh manufaktur terkait.
Sehingga, dengan kuatnya industri komponen sebagai pemasok maka manufaktur atau produsen juga makin maju. Hingga pada akhirnya mampu memenuhi kebutuhan produksi di pasar domestik maupun luar negeri (ekspor).
"Tapi kadang-kadang di industri itu, tergoda dengan barang-barang impor karena barang tersebut biasanya lebih murah. Sedangkan pemerintah kan pasti ingin mendorong untuk memakai barang dalam negeri agar tingkat competitiveness tinggi," ucap dia.
Baca juga: Toyota Indonesia Bakal Bikin Mobil Hybrid Murah
"Titik persoalannya di sana. Kapan kita bisa menggunakan barang impor dan kapan juga kita harus gunakan barang dalam negeri. Namun yang bagus, ada investasi dari luar yang berkerja sama dengan pelaku industri komponen lokal," kata Bob, menambahkan.
Hanya saja untuk menjaring investasi dari luar supaya berkerja sama dengan industri lokal tidak mudah. Ada tantangannya lagi, seperti belum lengkapnya informasi perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
Sebab biasanya, perusahaan kecil menengah (IKM) pencatatan seluruh informasinya itu belum lengkap. Sebagai contoh, prospek perusahaannya bagaimana, pemegang saham, kinerja dalam beberapa tahun belakangan, dan lain-lain.
"Kalau perusahaan besar, mereka sudah punya itu tetapi bagaimana yang IKM? Menurut saya, harusnya ada peringkat supaya clear dan terbuka (informasinya) dan ini tentu, harus dijembatani oleh pemerintah," kata Bob.
Lewat peringkat IKM, maka investor asing yang hendak mencari mitra lokal akan lebih mudah masuk. Semangat kolaborasi antara investor asing dan perusahaan lokal jadi terbina dengan positif.
Baca juga: Toyota Indonesia Bicara Konsep Ideal Penggunaan Kendaraan Listrik
Masalah lainnya, ialah hambatan yang menyangkut biaya ekonomi tinggi, seperti harga gas dan batu bara yang masih maju mundur. Belum lagi, biaya logistik di Indonesia apabila dibandingkan negara lain seperti China, India, dan Thailand, masih cukup tinggi.