JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak kepolisian selama beberapa pekan terakhir aktif menggelar razia yang menargetkan knalpot bising atau aftermarket. Bagi kalangan biker, razia knalpot ini menuai pro dan kontra, apa yang perlu dibenahi?
Knalpot bising kerap dikeluhkan masyarakat karena suaranya yang pekak dan mengganggu. Selain itu, tak jarang pengguna knalpot yang bersuara bising juga berkendara arogan di jalanan dengan kebut-kebutan dan membahayakan pengendara lain.
Knalpot yang bising itu ditimbulkan oleh suara dari knalpot aftermarket, knalpot racing, atau knalpot “brong”.
Knalpot jenis ini banyak digunakan di kendaraan bermotor, sepeda motor atau mobil, untuk dapat menghasilkan suara yang lebih bising dan performa yang lebih meningkat daripada produk bawaan pabrik serta sensasi saat berkendara.
Baca juga: Rutin Razia Knalpot, Polisi Bikin Efek Jera pada Pengendara Motor
Untuk harian, terkadang knalpot pabrikan tidak menghasilkan suara yang dibutuhkan agar pengendara lain lebih “awas” saat ada kendaraan lain lewat, terutama sepeda motor.
Ambil contoh, kendaraan bertenaga listrik yang tidak mengeluarkan suara lebih berbahaya karena hening saat melintas, beberapa pabrikan bahkan memberi modifikasi suara agar mobil listrik yang digunakan menghasilkan suara layaknya knalpot pada kendaraan berbahan bakar.
Berbicara terkait knalpot aftermarket, untuk pabrikan knalpot sebenarnya sudah ada ukuran tingkat kebisingan yang diukur melalui decibel (dB) meter. Pengukuran itu disesuaikan dengan kebutuhan, apakah untuk di jalan raya atau untuk balap di sirkuit.
Biasanya untuk produsen knalpot asal Eropa/AS sudah ada sertifikasi sehingga ada peringatan, seperti “road legal” untuk jenis yang diperbolehkan di jalan raya, dan “race use only” khusus arena balap di sirkuit.
Tentu suara yang dihasilkan akan lebih pekak untuk yang di sirkuit. Selain itu juga, tak jarang knalpot aftermarket dilengkapi dengan dB Killer, alat untuk meredam kebisingan yang dapat dilepas pasang.
Terkait tingkat kebisingan suara knalpot, sudah ada regulasinya, seperti di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56 Tahun 2019 tentang baku mutu kebisingan kendaraan bermotor.
Baca juga: Serba-serbi Knalpot Racing, Ini Beda Knalpot Slip On dan Full System
Dalam peraturan tersebut dibedakan tingkat kebisingannya berdasarkan kubikasi, untuk 80cc tingkat kebisingannya maksimal 77 dB, untuk 175cc maksimal 80 dB, dan untuk lebih dari 175cc maksimal 83 dB. Di regulasi ini mengatur untuk kendaraan baru.
Sebenarnya dengan batasan tersebut sudah jelas aturannya, meski, belum ada aturan terkait legalitas penggunaan knalpot aftermarket di kendaraan bermotor. Sehingga, metode pengukurannya pun masih menjadi perdebatan.
Bukan itu saja, tak jarang aparat di jalan menggunakan Pasal 285 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyebut “Setiap pengendara sepeda motor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan seperti spion, lampu utama, lampu rem, klakson, pengukur kecepatan, dan knalpot dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.”
Pasal tersebut dianggap “pasal karet” oleh pengendara yang terkena tilang dan menjadi “senjata pamungkas” untuk menilang pengendara yang tidak menggunakan knalpot standar saat terjadi perdebatan soal penilangan.
Di sisi lain, di pasal ini tidak dijelaskan soal knalpot bising, hanya mengatur soal kelaikan kelengkapan kendaraan bermotor. Sedangkan sudah ada aturan yang lebih teknis dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di atas.