JAKARTA, KOMPAS.com - Kepastian soal mudik Lebaran 2020 yang akan berlangsung di tengah pandemi corona (Covid-19), akhirnya terjawab.
Pemerintah melalui Pelaksana tugas Menteri Perhubungan Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan imbauan untuk masyarakat tidak mudik masih berlangsung.
Tapi ada beberapa konsekuensi yang harus ditanggung masyarakat bila memaksakan diri pulang kampung saat Lebaran nanti.
Baca juga: Penjelasan Surat Edaran BPTJ Stop Transportasi Umum di Jabodetabek
Menurut Luhut, masyarakat wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari di kampung halaman. Sementara risiko kedua harus membayar harga tiket yang kemungkinannya akan lebih tinggi dari biasanya pada semua sektor transportasi umum.
"Satu bus yang berpenumpang 40 mungkin hanya tinggal diisi 20 orang, sehingga tentu harganya bisa melonjak," ujar Luhut dalam konferensi video, Kamis, (2/4/2020).
Ketika menayakan soal harga tiket yang akan naik, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi, belum bisa berbicara banyak.
"Jumat (3/4/2020) kita akan bicarakan saat jumpa pers melalui video. Sekarang sedang kita siapkan," ujar Budi saat dihubungi Kompas.com.
Namun, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan mengatakan, hal tersebut memang benar adanya. Bahkan sudah dibicarakan oleh jajaran Kemenhub.
Baca juga: Respons PO Bus Kalau Dilarang Masuk Jabodetabek
Menurut pria yang akrab disapa Sani, Kemenhub memang sudah menanyakan soal respons Organda bila mudik tetap berjalan namun dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sebagai dispensasinya maka harga akan diserahkan ke pasar.
"Baru saja dibicarakan, memang dengan adanya physical distancing yang jadi protokol kesehatan nanti otomatis jumlah penumpang akan dikurangi sampai 50 persen itu berlaku semua sektor transportasi, misal bila biasanya bus 30 orang jadi 15 penumpang saja," ucap Sani.
Dengan adanya pembatasan penumpang, Sani menjelaskan secara bisnis memang akan sangat berdampak, karena itu pemerintah menawarkan opsi dispensasi kenaikkan harga tiket saat mudik Lebaran nanti.
Namun demikian, Sani menjelaskan sebenarnya dengan mudik tetap berjalan pada kondisi ancaman corona serta harga tiket yang bisa lebih mahal, tidak akan berpengaruh pada jumlah penumpang, apalagi bila dibandingkan dengan periode yang sama di 2019.
Baca juga: Ternyata Tren Keliling Jakarta, Di Mobil Aja Ada Positifnya
"Jadi gini, pada intinya kami mengikut pemerintah. Meski harga tiket bisa kita naikkan tapi tidak akan signifikan. Istilahnya bus kosong setengah jadi kita naikan 100 persen, itu tidak akan bisa, karena daya beli juga sedang lemah saat ini," ujar Sani.
Sani mengatakan meski diberikan kebijakan untuk menaikan harga, tetap harus ada pertimbangan rasionalnya. Apalagi bila mengingat akan terjadi kompetisi dengan transportasi lain.
Contoh, untuk bus Jakarta-Bengkulu harga tiket normal Rp 450.000, bila naik satu kali lipat menjadi Rp 900.000, lalu dibandingkan dengan tiket pesawat dengan tujuan yang sama harga Rp 600.000 menjadi Rp 1,2 juta.
"Dari perbandingan itu bisa dianalogikan, Rp 900.000 naik bus 20 jam, atau Rp 1,2 juta naik pesawat yang hanya berapa jam. Ini kan sangat memungkinkan bagi kami mengalami kehilangan konsumen," ujar Sani
"Jadi tadi kami berikan pernyataan meski (harga) dilepas ke pasar kami juga tidak mungkin melipatkanya. Tapi balik lagi, agar operasional dan bisnis bisa berjalan dalam kondisi sekarang, tolong bantu ke urusan badan pembiayaan, bicarakan agar ada relaksasi bagi kami," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.