Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rizka S Aji

Pemerhati masalah industri otomotif tanah air. Pernah berkecimpung menjadi jurnalis otomotif selama 15 tahun. Penyunting buku “Kiprah Toyota Melayani Indonesia (Gramedia; 2004)’ ; 50 Tahun Astra (Gramedia). Penggiat blog sosial  www.seribuwajahindonesia.com. Penyuka fotografi hitam putih

kolom

Antara Pohon Plastik dan Kendaraan Listrik

Kompas.com - 06/06/2018, 09:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LIMBAH DAN PASOKAN LISTRIK

Niat membangun industri otomotif melalui kendaraan listrik, bukan hal yang bisa diwujudkan dalam sekejap mata. Selain modal biaya, juga diperlukan konsistensi aturan, mengingat investasinya tidak murah.

Untuk menuntaskan perkara emisi saja, produsen otomotif perlu melakukan riset berkali-kali. Meskipun kendaraan listrik diakui lebih ramah lingkungan, untuk mencapai level itu tidaklah murah dan mudah. Memang, bila mengukur langsung hasil buangan dari knalpot, bisa dipastikan kendaraan listrik lebih ramah lingkungan ketimbang mobil dengan mesin konvensional yang menggunakan BBM. Cukupkah pengukuran tersebut?

Sejumlah studi mengenai hal ini mengemukanan.Paling tidak, kendaraan listrik menghadapi dua masalah utama dalam hal emisi.Pertama adalah limbah dari baterai yang digunakan mobil listrik setelah masa pakainya habis.Kedua adalah masalah pasokan listrik untuk mnegisi kembali tenaga baterai.

Perihal limbah baterai termasuk dalam golongan limbah beracun dan berbahaya.Oleh karena itu, sifatnya bisa mencemari lingkungan dan harus dilakukan penanganan dengan benar sesuai standar lingkungan yang berlaku.Sehingga ketika volume limbah meningkat sebagai akibat melonjaknya permintaan kendaraan listrik, penangannya tidak mudah lagi.Bisa jadi, pemerintah perlu lembaga khusus untuk penanganan limbah baterai ini.

Padahal, menurut studi yang dilakukan Bloomberg New Energy Finance yang diterbitkan pada tahun ini semakin hari, harga baterai semakin murah. Diprediksi harga lithium-ion batteryakan turun pada tahun 2040 nanti hanya di kisaran USD 70 per KWH. Penurunan harga sudah  terjadi  saat ini , bila dibanding dengan tahun 2010, dimana harga baterai di 201 masih berkisar USD1.000/KWh, dan di tahun 2017 sudah mendekati USD209 per KWH atau lebih murah 5-7% per tahunnya.

Bersyukurlah, teknologi baterai kini semakin meningkat dan juga dianggap lebih ramah lingkungan. Kini sejumlah pabrikan baterai terus melakukan pengembangan untuk mempercepat waktu charge sekaligus membuatnya tahan lama dan ringan. Inilah industri inti  yang harus dikuasai bila ingin meningkatkan penjualan dan pemakaian mobil listrik.

Urusan baterai hanyalah satu hal yang patut dipikirkan.Bila Indonesia serius dan berkomitmen untuk mengembangkan kendaraan listrik, perlu juga dipikirkan, bagaiamana bila volume membesar sementara pasokan listrik untuk mencasnya belum memadai? Bagaimana pula emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkit listrik tersebut?

Program 35 ribu mega watt yang dicanangkan pemerintah pada kenyataannya belum terealisasi sesuai harapan. Sejumlah media massa mengungkapkan, kurang dari 10% program itu terealisasi. Artinya, Indonesia akan bergantung pada pembangkit listrik lawas yang banyak menggunakan batubara sebagai bahan baku utama energinya.

Sementara energi baru terbarukan untuk membangkitkan listrik, meski dicanangkan dapat menyumbang 23% dari total pembangkit energi listrik nasional, masih perlu perjuangan untuk mencapai angka tersebut. Alhasil ketergantungan terhadap tenaga uap dengan pembakaran dari batu bara itu, mencatatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat emisi yang tinggi.

Seperti tertuang dalam laman http://shrinkthatfootprint.com/electric-car-emissions mencatat, Indonesia adalah negara keempat yang termasuk penghasil polusi melalui pengunaan PLTU dalam pembangkitan listriknya. Tingkat karbon yang dihasilkan sebesar 370-258 g CO2e/km.

Di Indonesia pun defisit listrik masih sering terjadi di sejumlah tempat. Walaupun menurut catatan pemerintah, rasio elektrifikasi kini sudah mencapai 95,15% (tahun 2017). Hal-hal semacam inilah yang menjadikan pekerjaan rumah besar bila industri otomotif Indonesia serius akan mengembangkan dan menggarap kendaraan listrik.

Pohon plastik menyerupai bambu di Jalan Medan Merdeka BaratKOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR Pohon plastik menyerupai bambu di Jalan Medan Merdeka Barat

FOKUS DAN SERIUS

Seperti awal tulisan ini, bila kondisi pemerintahan masih saja gaduh dengan urusan ‘Siapa menanam pohon plastik’ dan digulirkan menjadi wacana nasional karena ingin mengedepankan ego kelompok atau golongan, selama itupula pengembangan kendaraan listrik tak akan bisa terwujud seperti yang dicita-citakan.

Membangun industri strategis semacam industri otomotif, tak bisa hanya dijalankan dengan cara instan. Jepang, Jerman, Amerika Serikat, bahkan Malaysia, membangun industri otomotifnya dengan perencanaan jangka panjang serta konsisten dalam arah kebijakannya.

Jadi, ketimbang berdebat soal pohon plastik, mengapa energinya tak disalurkan untuk mendebatkan bagaimana Indonesia bisaa memproduksi baterai dan mengolah limbahnya sekaligus meningkatkan pasokan listrik agar Kendaraan Listrik Nasional segera diwujudkan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com