Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rizka S Aji

Pemerhati masalah industri otomotif tanah air. Pernah berkecimpung menjadi jurnalis otomotif selama 15 tahun. Penyunting buku “Kiprah Toyota Melayani Indonesia (Gramedia; 2004)’ ; 50 Tahun Astra (Gramedia). Penggiat blog sosial  www.seribuwajahindonesia.com. Penyuka fotografi hitam putih

kolom

Antara Pohon Plastik dan Kendaraan Listrik

Kompas.com - 06/06/2018, 09:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Keberadaan pohon plastik tiba-tiba jadi gunjingan di ranah publik di akhir Mei 2018 lalu. Entah siapa yang memulai pro kontra ini sehingga menghiasi laman-laman berita hingga sosial media. Meski pada akhirnya sang penguasa daerah menyatakan, itu pengadaan periode sebelumnya, toh masih ada saja yang tak rela berita itu sirna.

Biarlah perdebatan terus berlanjut. Prasangka baiknya, adanya perdebatan membuktikan bahwa para pendebat pro dan kontra sebenarnya peduli terhadap keberadaan lingkungan tempat di mana mereka tinggal. Itu pula yang membuat mengapa kendaraan listrik kini menjadi seksi untuk diperbincangkan.Maklum, soal hidup sehat sekarang juga menjadi tren yang terus disukai.

Di dunia kini berkembang kendaraan (baca: mobil) yang menggunakan tenaga listrik atau campuran motor listrik dengan mesin bakar konvensional. Kepedulian pada lingkunganlah yang kemudian menelurkan mobil-mobil berbahan bakar alternatif tersebut. Tujuannya, mengurangi pemakaian bahan bakar fosil sekaligus menurunkan emisi hasil pembakaran mesin konvensional agar bumi semakin lestari.

Hasil olah karsa dan karya para insinyur otomotif itu kemudian secara garis besar, membagi mobil menjadi 5 kategori: Pertama, yang ditenagai oleh mesin konvensional (diesel maupun bensin). Kedua, tenaga hybrid (mesin konvensional dengan kombinasi tenaga baterai yang diisi dari gerakan mesin tersebut seperti yang dipakai di Toyota Prius).

Ketiga, mobil bertenaga PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle) mobil yang ditenagai mesin konvensional, tetapi untuk baterai bisa dicas/isi menggunakan listrik rumah atau stasiun pengisian dan Keempat adalah Range Extender, dimana mobil itu bergerak menggunakan motor listrik sebagai tenaga utama, tetapi tetap dilengkapi dengan mesin konvensional yang fungsinya mencharge baterai manakalah baterai sudah habis saat berkendara. Kelima; Electric Car (EV) mobil yang murni digerakkan oleh motor listrik bertenaga baterai tanpa tambahan mesin bakar konvensional.

Perlahan tapi pasti, mobil-mobil listrik itu kemudian semakin mendapat hati di masyarakat. Seperti tulis laman 55 Persen Pasar Global Adalah Mobil Listrik di 2040 yang mengutip hasil proyeksi dari Bloomberg New Energy Finance (BNEF), tahun 2040, jumlah mobil listrik totalnya mencapai 55 persen atau setara kurang lebih 60 juta unit dari penjualan mobil global. Artinya, dalam 20 tahun ke depan, mobil-mobil listrik semakin mudah didapat dengan dukungan infrastruktur yang memadai.

Boleh jadi prediksi itu benar adanya. Sejumlah pabrikan otomotif dunia kini berlomba-lomba untuk menelurkan mobil bertenaga listrik. Dalam kacamata bisnis, kini mereka tengah sibuk memproduksi dan memasarkan mobil listrik ke berbagai negara. Bahkan sejumlah pabrikan kini mulai berani mendeklarasikan akan meninggalkan produksi mobil bertenaga mesin berbahan bakar fosil murni beralih total ke mobil bermesin tenaga listrik, seperti yang dilakukan Chang’an di China, mengikuti jejak Tesla di Amerika Serikat yang fokus pada penjualan dan produksi mobil listrik murni.

Sementara merek-merek yang sudah duluan hadir,  sebagai produsen mobil mesin konvensional, seperti Mercedes-Benz, Toyota, Honda, hingga Bentley juga berminat bermain di mobil listrik. Khusus Bentley malah berani mendeklarasikan EXP 12 Speed 6E, sebagai mobil konsep sport yang ditenagai motor listrik.

Baca juga: Teknologi Baterai Mobil Listrik Bisa Dikuasai Indonesia

Dahlan Iskan dan mobil listrik Tuxuci.Agung Kurniawan Dahlan Iskan dan mobil listrik Tuxuci.

KELISNAS

Seperti tak mau ketinggalan, Indonesia yang sejatinya bukanlah produsen otomotif dunia pada kendaraan roda empat atau lebih – perihal ini bisa diperdebatkan, sebab ada pula yang menganggap Indonesia merupakan produsen kendaraan karena sejumlah merek merakit di Tanah Air- juga berminat untuk memproduksi dan juga memasarakan Kendaraan Listrik Nasional (KELISNAS).

Seperti tulisan sebelumnya, Kendaraan Listrik dan Industri Otomotif Indonesia, Pemerintah Indonesia dikabarkan serius untuk membangun industri kendaraan listrik nasional. Sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) antara lain PT Pindad, Wijaya Karya hingga perusahaan setrum negara PT PLN, sudah berancang-ancang bersama-sama mendukung pembuatan KELISNAS.

Pun demikian dengan Perguruan Tinggi dan Perusahaan swasta akan diajak untuk saling bersinergi. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi juga sudah mendeklarasikan akan turut mengawal program tersebut. Kini semua pihak menanti payung hukum melalui Presiden Joko Widodo yang akan menerbitkan Peraturan Pemerintah khusus untuk mewujudkan adanya KELISNAS tersebut.

Adanya kendaraan listrik ini bisa jadi merupakan strategi pemerintah dalam mengurangi subisidi BBM yang setiap tahun meningkat seiring dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Pada APBN 2017 lalu saja, alokasi subsisi BBM sebesar Rp 77,3 triliun. Terdiri untuk subsidi  BBM listrik, gas elpiji (3 kg) dan Solar  (Sebesar Rp500 per liter). Sedangkan untuk premium sebesar Rp0.

Salah satu yang dianggap menyumbang adanya pemakaian BBM adalah penjualan kendaraan mesin konvensional (mesin pembakaran dalam, seperti halnya mobil yang saat ini banyak beredar). Dalam catatan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan mencapai 1,08 juta unit.

Alhasil, salah satu tujuan adanya mobil listrik tampaknya juga dijadikan cara pemerintah untuk memangkas kembali pemakaian BBM sekaligus menekan tingkat emisi hasil pembakaran mobil bermesin konvensional tersebut dengan melompat setelah penerapan standar emisi euro IV pada 2017 lalu, ke mobil zero emission semacam mobil listrik ini.

Baca juga: PHEV Bisa Atasi Keterbatasan Infrastruktur Mobil Listrik

Presiden Joko Widodo melihat-lihat mobil listrik Ezzy II karya ITS dan yang dijajalnya saat peresmian Tol Surabaya-Mojokerto, Selasa (19/12/2017).Istimewa Presiden Joko Widodo melihat-lihat mobil listrik Ezzy II karya ITS dan yang dijajalnya saat peresmian Tol Surabaya-Mojokerto, Selasa (19/12/2017).

LIMBAH DAN PASOKAN LISTRIK

Niat membangun industri otomotif melalui kendaraan listrik, bukan hal yang bisa diwujudkan dalam sekejap mata. Selain modal biaya, juga diperlukan konsistensi aturan, mengingat investasinya tidak murah.

Untuk menuntaskan perkara emisi saja, produsen otomotif perlu melakukan riset berkali-kali. Meskipun kendaraan listrik diakui lebih ramah lingkungan, untuk mencapai level itu tidaklah murah dan mudah. Memang, bila mengukur langsung hasil buangan dari knalpot, bisa dipastikan kendaraan listrik lebih ramah lingkungan ketimbang mobil dengan mesin konvensional yang menggunakan BBM. Cukupkah pengukuran tersebut?

Sejumlah studi mengenai hal ini mengemukanan.Paling tidak, kendaraan listrik menghadapi dua masalah utama dalam hal emisi.Pertama adalah limbah dari baterai yang digunakan mobil listrik setelah masa pakainya habis.Kedua adalah masalah pasokan listrik untuk mnegisi kembali tenaga baterai.

Perihal limbah baterai termasuk dalam golongan limbah beracun dan berbahaya.Oleh karena itu, sifatnya bisa mencemari lingkungan dan harus dilakukan penanganan dengan benar sesuai standar lingkungan yang berlaku.Sehingga ketika volume limbah meningkat sebagai akibat melonjaknya permintaan kendaraan listrik, penangannya tidak mudah lagi.Bisa jadi, pemerintah perlu lembaga khusus untuk penanganan limbah baterai ini.

Padahal, menurut studi yang dilakukan Bloomberg New Energy Finance yang diterbitkan pada tahun ini semakin hari, harga baterai semakin murah. Diprediksi harga lithium-ion batteryakan turun pada tahun 2040 nanti hanya di kisaran USD 70 per KWH. Penurunan harga sudah  terjadi  saat ini , bila dibanding dengan tahun 2010, dimana harga baterai di 201 masih berkisar USD1.000/KWh, dan di tahun 2017 sudah mendekati USD209 per KWH atau lebih murah 5-7% per tahunnya.

Battery Electric Vehicle (BEV) lebih banyak angkanya dibanding Plug-in Hybrid.BLOOMBERG Battery Electric Vehicle (BEV) lebih banyak angkanya dibanding Plug-in Hybrid.

Bersyukurlah, teknologi baterai kini semakin meningkat dan juga dianggap lebih ramah lingkungan. Kini sejumlah pabrikan baterai terus melakukan pengembangan untuk mempercepat waktu charge sekaligus membuatnya tahan lama dan ringan. Inilah industri inti  yang harus dikuasai bila ingin meningkatkan penjualan dan pemakaian mobil listrik.

Urusan baterai hanyalah satu hal yang patut dipikirkan.Bila Indonesia serius dan berkomitmen untuk mengembangkan kendaraan listrik, perlu juga dipikirkan, bagaiamana bila volume membesar sementara pasokan listrik untuk mencasnya belum memadai? Bagaimana pula emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkit listrik tersebut?

Program 35 ribu mega watt yang dicanangkan pemerintah pada kenyataannya belum terealisasi sesuai harapan. Sejumlah media massa mengungkapkan, kurang dari 10% program itu terealisasi. Artinya, Indonesia akan bergantung pada pembangkit listrik lawas yang banyak menggunakan batubara sebagai bahan baku utama energinya.

Sementara energi baru terbarukan untuk membangkitkan listrik, meski dicanangkan dapat menyumbang 23% dari total pembangkit energi listrik nasional, masih perlu perjuangan untuk mencapai angka tersebut. Alhasil ketergantungan terhadap tenaga uap dengan pembakaran dari batu bara itu, mencatatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat emisi yang tinggi.

Seperti tertuang dalam laman http://shrinkthatfootprint.com/electric-car-emissions mencatat, Indonesia adalah negara keempat yang termasuk penghasil polusi melalui pengunaan PLTU dalam pembangkitan listriknya. Tingkat karbon yang dihasilkan sebesar 370-258 g CO2e/km.

Di Indonesia pun defisit listrik masih sering terjadi di sejumlah tempat. Walaupun menurut catatan pemerintah, rasio elektrifikasi kini sudah mencapai 95,15% (tahun 2017). Hal-hal semacam inilah yang menjadikan pekerjaan rumah besar bila industri otomotif Indonesia serius akan mengembangkan dan menggarap kendaraan listrik.

Pohon plastik menyerupai bambu di Jalan Medan Merdeka BaratKOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR Pohon plastik menyerupai bambu di Jalan Medan Merdeka Barat

FOKUS DAN SERIUS

Seperti awal tulisan ini, bila kondisi pemerintahan masih saja gaduh dengan urusan ‘Siapa menanam pohon plastik’ dan digulirkan menjadi wacana nasional karena ingin mengedepankan ego kelompok atau golongan, selama itupula pengembangan kendaraan listrik tak akan bisa terwujud seperti yang dicita-citakan.

Membangun industri strategis semacam industri otomotif, tak bisa hanya dijalankan dengan cara instan. Jepang, Jerman, Amerika Serikat, bahkan Malaysia, membangun industri otomotifnya dengan perencanaan jangka panjang serta konsisten dalam arah kebijakannya.

Jadi, ketimbang berdebat soal pohon plastik, mengapa energinya tak disalurkan untuk mendebatkan bagaimana Indonesia bisaa memproduksi baterai dan mengolah limbahnya sekaligus meningkatkan pasokan listrik agar Kendaraan Listrik Nasional segera diwujudkan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com