Jakarta, KompasOtomotif - Program Kendaraan Bermotor Hemat Bahan Bakar dan Harga Terjangkau (KBH2) yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 sudah melahirkan segmen baru di Indonesia. Tetapi, model-model seperti Agya-Ayla sebagai buah dari program berjuluk mobil murah dan ramah lingkungan (low cost and green car/LCGC) sepertinya tidak berumur panjang.
Layaknya nama yang melekat, produk jenis ini seharusnya murah secara harafiah atau terjangkau, menyasar pada konsumen pemilik mobil pertama. Sesuai regulasi yang ada, pemerintah menetapkan harga acuan bagi merek manapun yang mau ikut menjual, yakni Rp 95 juta (off the road) per model. Harga ini bisa dijual lebih mahal atau lebih murah sesuai kemampuan hitung-hitungan pemegang merek, sambil mempertimbangkan kandungan teknologi (transmisi otomatis, kantong udara, dan anti-lock braking system) serta inflasi yang berubah tiap tahun.
Alasan terakhir (inflasi), juga Pajak Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bea Balik Nama yang naik setiap tahun, membuat "si mobil murah" jadi tidak murah lagi. Bayangkan, semula Daihatsu Ayla saat meluncur September 2013 lalu dibanderol Rp 76,5 juta untuk varian termurah. Saat ini, harga varian yang sama sudah mencapai Rp 91,25 juta, terjadi kenaikan sampai Rp 14,75 juta hanya dalam rentang empat tahun.
Baca: Regulasi Mobil Murah
Rencana Baru
Kabar menyebutkan kalau program "mobil murah" ini akan dihentikan oleh pemerintah. Tetapi, kemudian digantikan dengan program lanjutan yang juga terkandung dalam regulasi yang sama (PP 41), tentang Low Carbon Emission (LCE). Bedanya, program lanjutan lebih mendorong para agen tunggal pemegang merek (ATPM) yang mau ikut serta untuk memajukan teknologi baru, ketimbang mesin konvensional yang digunakan pada LCGC.
"Berdasarkan PP Nomor 41, pemerintah memberikan fasilitas penurunan PPnBM (Pajak Penambahan Nilai atas Barang Mewah) untuk kendaraan yang menggunakan teknologi, seperti hybrid, gas, dan lain-lain. Itu (insentif) diberikan kalau ada yang berminat jika ada yang mau membuat (memproduksi) di sini," kata Yan Sibarang, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Peridustrian kepada KompasOtomotif, Sabtu (25/3/2017).
Baca: Kebijakan LCE Harus Menguntungkan Indonesia
Dalam regulasi itu, untuk LCGC diberikan insentif pembebasan PPnBM 10 persen buat setiap produk yang mampu memenuhi standar konsumsi bahan bakar 20 kpl. Selain itu, setiap model LCGC wajib dirakit di Indonesia dengan tingkat kandungan minimal 80 persen, termasuk mesin dan transmisi.
Sementara untuk program LCE disiapkan insentif berupa diskon PPnBM mulai 25 persen sampai 75 persen, dilihat dari seberapa irit konsumsi bahan bakar yang diperoleh, antara 20 - 28 kpl.
Mulai 2019
Menurut informasi yang diperoleh KompasOtomotif, rencananya program KBH2 (LCGC) akan berhenti mulai 2019 dan dilanjutkan LCE. Proses pengkajian saat ini juga tengah dilakukan pihak pemerintah sebelum nanti diumumkan.
"Kalau soal itu, saya belum tahu. Kalau LCE memang masih dikaji. Pemerintah mau memberikan insentif kalau orang (investor) melihat ada prospek di situ, pasti orang akan lakukan. Tapi, tak ada keharusan," kata Yan, mengonfirmasi.
Yan menjelaskan, salah satu target pemerintah menggulirkan program "mobil murah", adalah untuk memperkuat struktur industri otomotif nasional. Para ATPM yang semula masih impor mesin dan transmisi, dua komponen utama pada mobil, diwajibkan memproduksi sendiri di Indonesia jika mau ikut program ini.
"Dan program ini (KBH2) sudah berhasil, struktur industri otomotif kita sudah berhasil menarik investasi segar dari program ini," kata Yan.
Akio Toyoda
Rencana pengguliran Program LCE ini sendiri, ada kaitannya dengan kedatangan Chief Executive Officer (CEO) Toyota Motor Corporation (Jepang) Akio Toyota bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara, pertengahan Maret lalu. Dalam pertemuan itu, rencana Toyota merakit kendaraan hybrid di Indonesia sudah disampaikan kepada Presiden.