Selesai mengenyam pendidikan SD, SMP dan SMA di Solo, Jawa Tengah, Warih punya kesempatan melanjutkan pendidikan ke bangku perguruan tinggi. Cita-cita ketika itu hanya satu, yakni menjadi insinyur. Tapi ada kendala yang dihadapi kalau ingin menjadi insinyur.
"Prestasi terakhir waktu di SMA mendapat pilihan masuk dua universitas besar di Indonesia, ITB Bandung dan Universitas Diponegoro Semarang. Saya hanya pilih yang terbaik atau tidak sama sekali, hingga akhirnya saya masuk di jurusan Teknik Kimia Undip," jelas Warih saat menerima kunjungan KompasOtomotif di kantornya, Sunter, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.
Warih berkisah, memilih jurusan teknik kimia bukan tanpa sebab. Dia mantap masuk ke jurusan yang lekat dengan rumus-rumus atom atau molekul tersebut karena semasa sekolah baik di SMP ataupun SMA, Warih mengaku lemah dalam pelajaran menggambar
"Ketika SMP atau SMA, saya tidak bisa menggambar. Saya sering keluar saat pelajaran menggambar. Celakanya, saat ingin memilih jurusan teknik mesin pasti ada pelajaran menggambar, begitu juga dengan teknik sipil atau arsitek pasti bertemu dengan menggambar. Ada pilihan lain yakni teknik elektro, tapi saya tidak mampu karena modalnya besar. Akhirnya saya masuk teknik kimia, karena pada saat itu yang penting jadi insinyur," papar Warih.
Menjadi mahasiswa, pria yang duduk di salah satu jabatan teratas TMMIN ini ternyata tidak terlalu memiliki prestasi yang istimewa. Bahkan, Warih harus menyelesaikan pendidikan S1-nya dengan jangka waktu 6,5 tahun atau 13 semester. Tapi di sisi lain, perekonomian keluarga perlahan membaik. Ayahnya, sukses meniti karier sebagai PNS, hingga menjadi rektor dan juga berpolitik.
"Saat kuliah, perekonomian keluarga makin membaik. Ayah saya berhasil menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di Solo, lalu beliau juga menjadi salah satu pendiri dan rektor pertama Universitas Slamet Riyadi, serta sukses dan aktif berpolitik. Ayah saya memang sosok yang ulet, beliau masih mau menyelesaikan sekolah sampai menjadi sarjana untuk menunjang karier. Kondisi ini membaik saat saya sudah hampir merampungkan kuliah," terang Warih.
Waruh mengakui, jangka waktu menyelesaikan kuliah 6,5 tahun memang terbilang lama. Saat itu, normal study sekitar lima tahun, tapi memang jurusan itu terkenal susah dan lama. "Saya dulu sampai dapat uang dari pemerintah untuk merangsang kelulusan. Uang itu untuk penelitian, praktek sampai skripsi, karena Indonesia sepertinya kekurangan insinyur jadi disuruh cepat lulus," jelasnya sambil tertawa.
Lulus dari Teknik Kimia Undip, Warih langsung mendapat panggilan kerja di dua perusahaan. Pertama adalah perusahaan kimia asal Jepang dan kedua adalah Astra. Tapi Warih lebih memilih untuk menjajal lebih dulu di perusahaan kimia daripada Astra.
"Saya langsung dipanggil oleh perusahaan kimia asal Jepang, lalu tes di kawasan Jenderal Sudirman dan pabriknya di Tangerang. Saya memang tertarik sekali, karena ini sesuai dengan latar belakang pendidikan. Akhirnya terpilih untuk wawancara dengan saingan 10 orang, tapi setelah itu tidak dipanggil-panggil lagi. Ternyata, hanya satu orang yang dipilih."
Gagal di perusahaan kimia tak membuat Warih menyerah untuk kembali mencoba melamar pekerjaan. Panggilan kedua akhirnya datang dari Astra Grup, dan tanpa proses panjang, Warih pun diterima dan memulai karier bersama Toyota terhitung sejak Juli 1989.
Enam bulan bekerja di Toyota, Warih mendapat cobaan berat yakni ditinggal sang ayah tercinta yang wafat di usia ke-51. Ayah adalah sosok yang penting buat Warih, dengan gambaran keuletan, kerja keras, semangat dan pantang menyerah hingga usia tua.
"Seperti saya ceritakan tadi, ayah saya mencapai puncak karier saat saya di semester akhir kuliah. Beliau sangat sibuk sekali, dari pagi sampai malam bahkan di akhir pekan tetap bekerja. Momen ini memang sangat dimanfaatkannya sebagai buah dari kerja keras selama ini. Tapi, karena terlalu sibuk kesehatan jadi tidak terpikirkan. Akhirnya beliau sakit, dan meninggal pada awal tahu 1990, saat saya baru beberapa bulan memulai kerja di Toyota."
Warih melanjutkan, beberapa saat memulai kerja di Toyota, dirinya ternyata juga mendapat panggilan di Petrokimia Gresik. Panggilan ini sempat menggoyahkan semangatnya yang baru saja terjun ke industri otomotif. Maklum, Petrokimia juga menjadi salah satu perusahaan besar dan dirasakannya pas dengan latar belakang pendidikan.
"Baru beberapa bulan kerja, tepatnya setelah ayah meninggal, saya ternyata dipanggil Petrokima di Gresik, Jawa Timur. Senang sekali mendapat panggilan waktu itu, karena memang pas dengan background saya sebagai insinyur teknik kimia. Saya izin ke ibu untuk ikut tes, namun ibu saya malah melarang dengan alasan baru mulai kerja jangan pindah-pindah dulu," bebernya.
Intuisi sang ibu memang tepat, Warih akhirnya tetap melanjutkan karier di Toyota, walau ada beberapa kendala yang dihadapi karena masuk dalam industri yang bebeda dengan pendidikan. Seiring berjalannya waktu, Warih pun bisa beradaptasi dengan pekerjaan tersebut. Bagaimana kelanjutan kisah Warih di Toyota, termasuk pengalaman uniknya saat dikirim ke Jepang? ikuti "Success Story" Warih Andang Tjahjono di KompasOtomotif. Bersambung
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.