JAKARTA, KOMPAS.com - Hak-hak menggunakan transportasi dan kendaraan pribadi ditandai dengan bukti kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM), yang bisa didapat setelah melalui tahapan ujian-ujian tertentu.
Pelaksanaan aturan ini biasanya mudah dilakukan dan prosesnya sudah cukup mudah, karena harus mendatangi Satpas dan melakukan ujian, dengan diawasi oleh pihak-pihak berwajib. Jika lolos, kompetensi berkendara diakui dan bisa mendapatkan SIM.
Kendati demikian, jalannya pelaksanaan tersebut dinilai belum 100 persen bermanfaat dan menjangkau seluruh golongan. Masyarakat difabel yang menyandang disabilitas dianggap masih kesulitan mendapatkan SIM
Erwin, Pendiri sekaligus Ketua Yayasan Rumah Pengembangan dan Pemberdayaan Disabilitas (YRPPD) menjelaskan, hak-hak para difabel untuk bisa menikmati kesempatan berkendara masih tertahan.
“Bukan hanya sekedar sulit, tapi aksesibilitas dan pendampingan untuk mendapatkan SIM itu nampaknya masih belum siap, tidak lengkap,” ucapnya saat berbincang dengan Kompas.com di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Mengutip dari segi peraturan, hak-hak difabel untuk memperoleh SIM sudah diatur oleh banyak regulasi, seperti UU nomor 8 tahun 2016, PP nomor 42 tahun 2020, dan Perpol nomor 5 tahun 2023.
Berdasarkan dasar hukum tersebut, penyandang disabilitas memiliki kategori SIM khusus, yakni SIM D untuk motor dan SIM D1 untuk mobil.
Walaupun dasar hukum dan regulasinya dirasa cukup lengkap, Erwin menganggap jika hal itu baru sebatas narasi saja. Pengamalan dan perenapan di kondisi nyata dianggap masih kurang.
“Walaupun secara aturan pembuatan SIM sudah ada dan kategorinya sudah ada, tapi infrastruktur dan aksesibilitas dari penyelenggara masih sangat kurang,” ucapnya.
Erwin mencontohkan poin penilaian saat ujian pembuatan SIM, tahap pelaksanaanya tidak dilakukan atau minimal didampingi oleh tenaga ahli yang memang memahami penyandang disabilitas.
“Saya menghormati pihak kepolisian yang menguji, karena beliau-beliau pasti kompeten di bidangnya. Tapi untuk pengujian difabel, harusnya melibatkan juga profesional-profesional di bidang kekhususan,” ucap dia.
Selayaknya sekolah luar biasa yang memiliki pakar bidang kekhususan sebagai tenaga pengajar, layanan pembuatan SIM juga sebaiknya memiliki tenaga ahli dengan kompetensi serupa.
“Penyandang disabilitas itu juga manusia, punya hak-hak yang harus dipenuhi. Mereka juga ingin berkendara dan beraktivitas dengan normal, dan layak mendapatkan sertifikasi berkendara juga,” kata Erwin.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/10/20/113100915/pengamat-sebut-penyandang-disabilitas-masih-sulit-dapat-sim