JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian RI (Kemenperin) mengaku sedang mempertimbangkan untuk bisa memberi tambahan insentif bagi mobil berteknologi hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV) karena mampu mengurangi emisi karbon hingga 49 persen.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier mengatakan, besaran insentif pada kendaraan listrik tersebut besarannya akan dihitung berdasarkan emisi yang dihasilkan.
"Sebetulnya kami sudah inisiasi, analisis ke depan sampai 2060 itu adalah carbon reduction. Artinya, yang diukur adalah sampai seberapa besar industri menghasilkan suatu produk yang mampu menurunkan emisi karbon," katanya di Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Artinya, jika suatu kendaraan tertentu mampu menurunkan emisi karbon sampai pada ambang batas yang ditentukan, maka insentif yang diberikan semakin besar pula.
Kondisi tersebut serupa dengan yang ditetapkan di Eropa, di mana ambang batas terhadap pengurangan emisi yaitu 95 gram per km. Adapun di Indonesia, pengurangan emisi pada HEV, menurut Taufiek, mencapai 75 gram per km.
Ia lantas melanjutkan, untuk bisa menerapkan pemberian insentif bagi mobil hibrida di Indonesia, pemerintah perlu melakukan semacam survei terhadap setiap produk agar menentukan ambang batas rata-rata yang bisa digunakan sebagai acuan penurunan emisii.
"Kami akan mencoba pendekatan yang carbon unit analisis. Misalkan sekarang produk A dia cuma 95 gram CO2 per km, nanti tahun depan dia mengeluarkan produk baru 75 gram per km, inilah yang diberikan reward supaya bisa lagi masuk 40 gram per km, ke 30 gram per km, dan seterusnya," ujar Taufiek.
"Yah, kalau lihat dari animonya (kendaraan listrik saat ini), mungkin kita harus beri hybrid (insentif). Tapi pemberiannya itu ada dasar. Kita perlu cara memberikan yang tepat supaya kita tidak diprotes memberi subsidi ke orang kaya dan macam-macam," tambah dia.
Sementara itu, pengamat otomotif LPEM Universitas Indonesia (UI) Riyanto menyebut insentif tambahan yang dapat diberikan untuk mobil hibrida ialah berupa diskon PKB dan BBNKB hingga menjadi masing-masing 7,5 persen dan 1,31 persen.
Jadi, totalnya nanti hanya 8,81 persen. Selain itu PPnBM mobil hybrid juga dia usulkan dipangkas sampai 0 persen atau minimal seperti Low Cost Green Car (LCGC) 3 persen.
Riyanto bilang insentif-insentif baru tersebut bisa mengurangi harga mobil hybrid 8-11 persen.
"Saat ini, BEV (Battery Electric Vehicle) mendapatkan insentif BBN dan PKB. Saya kira ini bisa dipertimbangkan juga ke hybrid, karena bisa mengurangi emisi sampai 50 persen. Jadi, mobil hybrid layak mendapatkan tambahan insentif," kata Riyanto.
Diketahui, saat ini pemerintah telah memberikan insentif kepada mobil listrik berbasis baterai berupa tarif 0 persen untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Selain itu, kendaraan terkait juga mendapatkan insentif diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen sehingga beban tarifnya tersisa 1 persen.
Sementara mobil hybrid, meski bisa mengurangi emisi karbon dikenakan tarif PPnBM sebesar 6 persen dan PKB serta BBNKB yang disamakan seperti mobil bermesin bakar (Internal Combustion Engine/ICE), yakni maksimal 12,5 persen dan 1,75 persen.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/08/09/084200315/mobil-hybrid-perlu-tambahan-insentif