Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tanggapan Ahli Soal Bioetanol, Khawatir Program Mandek Lagi

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Pertamina (Persero) sudah mengumumkan rencananya untuk meluncurkan BBM jenis baru yang merupakan campuran Pertamax dengan etanol, yakni bioetanol. Program ini dikhawatirkan akan mandek lagi seperti sebelumnya.

Tri Yuswidjajanto Zaenuri, seorang dosen dan ahli konversi energi Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, program bioetanol dilakukan karena Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris yang harus menurunkan karbon CO2 di 2030 sebesar 32,1 persen.

"Akhir 2022, baru mencapai sekitar 10 persen. Nah, kan tinggal delapan tahun lagi, padahal masih jauh, ada 22 persen lagi," ujar Yus, saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.

Yus menambahkan, etanol yang mau dipakai oleh Pertamina diproses dari molasses atau produk samping dari gula. Jadi, di pabrik gula, tebu akan digiling dan diproses jadi gula pasir.

"Nah, sampahnya ini adalah molasses. Molasses ini diproses oleh Pertamina menjadi etanol, dipakai untuk bahan bakar," kata Yus.

"Kita dulu juga sudah pernah sebenarnya, sudah pernah dengan E5 juga. Waktu itu malah sempat dengan Biopremium dan Biopertamax. Tapi, kemudian pasokan etanolnya terganggu. Harga etanolnya meroket, karena etanol juga dipakai di bidang kesehatan," ujarnya.

Menurut Yus, ketika pasar etanol harganya bagus, oleh pedagang dijual ke luar negeri, tidak dicampur ke bahan bakar. Dia menambahkan, dulu juga sempat ramai di Lampung, mau produksi etanol dari singkong. Tapi, singkong juga merupakan bahan pangan.

"Jangan-jangan nanti seperti dulu lagi, etanolnya hilang atau mungkin kurang dari 5 persen. Indonesia juga sedikit sekali punya pabrik etanol," ujar Yus.

Yus mengatakan, beberapa waktu lalu ada Molindo yang mau masuk ke Pertamina, tapi masih kurang pasokannya. Kemudian, molase itu sendiri juga rebutan dengan pabrik penyedap rasa atau bumbu masak.

"Sebab, itu salah satu bahan bakunya juga. Selain itu, untuk ekspor juga laku. Jadi, molasenya belum tentu cukup. Apalagi, pabrik gula di sini juga belum banyak. Mungkin juga karena itu hanya 5 persen, untuk melihat kemampuan pasokannya seperti apa," kata Yus.

Menurut Yus, jika mungkin diberlakukan Domestic Market Obligation (DMO), program bioetanol ini bisa berjalan sesuai rencana.

"Jadi harus dijual di Indonesia sebanyak sekian persen. Misalkan, seperti CPO (Crude Palm Oil), harus dijual di dalam negeri sebanyak sekian persen, untuk minyak goreng dan bahan bakar. Mungkin kalau etanol diberlakukan seperti itu dan pemerintah konsisten, mungkin bisa berjalan juga. Barangkali, bisa memicu pendirian pabrik etanol," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, mengatakan, proses pembuatan etanol dari tebu tidak akan mengganggu produksi dari pabrik gula. Sebab, pihaknya hanya akan mengambil tetes tebu, sehingga tidak rebutan dengan pabrik gula.

"Jadi kami akan terus lakukan riset-riset untuk menghasilkan bioenergi dari bahan baku nabati," Nicke dalam Media Briefing Capaian Kinerja 2022 yang disiarkan YouTube Pertamina, belum lama ini.

https://otomotif.kompas.com/read/2023/06/13/142100615/tanggapan-ahli-soal-bioetanol-khawatir-program-mandek-lagi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke