Surabaya, KompasOtomotif – Buat pengendara sepeda motor, nama Marc Marquez sepertinya sulit untuk tidak diketahui. Juara dunia kejuaran balap motor paling bergengsi di dunia, MotoGP tahun 2016 ini, kerap jadi idola para biker. Sayang beberapa perilaku Marquez di arena balap kerap dipraktikan di jalan raya, tidak sesuai habitat!
Honda sengaja ikut ajang balapan untuk menunjukkan seberapa kompetitif motor buatannya, ketika mesin harus menghadapi kondisi maksimal. Membuktikan pebalapnya (Marquez) menggunakan motor terbaik sehingga bisa jadi juara dunia, bahkan mampu mengalahkan legenda hidup Valentino Rossi sekalipun.
Sayang, kampanye ini terkadang suka bias ketika ditonton jutaan mata penggemar Marquez yang biasa nikung dalam kecepatan 150 kpj atau ketika trek lurus tembus 300 kpj. Mereka para pengguna sepeda motor malah menyerap kebiasaan ngebut yang sebenarnya memang jadi syarat mutlak saat balapan, bukan ketika berkendara di jalan raya.
Bicara soal teknik pengereman misalnya, para pebalap MotoGP sekelas Marquez biasa melakukan teknik late braking, yakni memperlambat proses pengereman ketika masuk tikungan. Tuas rem juga biasa ditarik hanya menggunakan dua atau satu jari, sambil tak menutup gas, demi menjaga putaran mesin tetap tinggi, demi akselerasi pasca-tikungan.
“Soal pengereman, tentu beda penggunaannya. Kalau buat di jalan, rem dilakukan untuk memperlambat sampai menghentikan motor. Jadi, teknik yang benar dan aman itu, menutup gas dulu, kemudian meremas tuas rem dengan keempat jari. Bukan seperti Marquez di tikungan balap,” kata Johanes Lucky, Chief Instructor Safety Riding PT Astra Honda Motor di Surabaya, Selasa (16/5/2017).
Budaya Safety Riding
Sepeda motor sudah masuk dalam daftar kebutuhan wajib manusia di Indonesia, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan transportasi. Masih minimnya sarana transportasi massal yang disediakan pemerintah membuat kendaraan roda dua selalu jadi andalan untuk berkelana dari kabupaten sampai Ibu Kota.
Lekatnya kehidupan masyarakat Indonesia dengan sepeda motor lantas menciptakan budaya yang terkonstruksi dari kebiasaan-kebiasaan keseharian. Sayangnya, budaya pemotor yang tercipta kini, malah jauh dari mahfum soal pentingnya praktik safety riding di jalan. Jangan terlalu berharap paham soal fungsi kotak kuning yang ada di persimpangan jalan, menyalakan sein ketika mau berbelok saja, kadang tidak dilakukan. Parahnya lagi, kebiasaan ini dianggap lumrah, padahal jelas-jelas salah!
“Buat orang yang pertama kali mau mengendarai sepeda motor, sebelum mengetahui teknik berkendara, harusnya tahu dulu bahayanya kondisi di jalan. Setelah mereka sadar betapa besarnya bahaya di jalan, baru mau belajar bagaimana berkendara yang baik dan benar,” kata Johanes.
Kembali soal Marquez, jangan salah kaprah menganggap pebalap Spanyol ini mengabaikan keselamatan di sirkuit. Seluruh pebalap, termasuk dia, menggunakan semua perlengkapan keselamatan terbaik yang ada saat ini, mulai dari wearpack, helm, pelindung tulang punggung, siku, lutut, sepatu, sampai sarung tangan demi meminimalisir kondisi fatal.
Tetapi, jangan campuradukan antara aksi balap dengan berkendara di jalan. Jalan umum bukan sirkuit balap, bukan tempatnya untuk mengadu kecepatan, tetapi memahami besarnya bahaya risiko kecelakaan.
Jikalau sistem pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) masih belum tegak, belajar safety riding, setidaknya masih bisa jadi alternatif terbaik. Pada dasarnya, manusia tak pernah berhenti belajar, selama masih mau mempelajari safety riding dengan baik, setidaknya punya kesempatan lebih baik untuk menghindari celaka di jalan.
Salam safety riding!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.