JAKARTA, KOMPAS.com – Lachlan Gibson menjadi sorotan setelah Polda Metro Jaya akhirnya menerima laporan kecelakaan lalu lintas yang dia buat, yang terjadi pada 2023, setelah sebelumnya ditolak oleh pihak kepolisian.
Laporan mengenai kecelakaan yang dialami aktor tersebut diterima setelah video curhatnya tentang kasus ini viral di media sosial.
Baca juga: Mobil yang Pernah Telat Ganti Oli Mesin Aman Melakukan Flushing?
Tak lama sebelumnya, Lachlan juga mengaku pernah mengalami tindakan arogan dari seorang anggota polisi lalu lintas (polantas) di kawasan SCBD, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Jumat (15/11/2024) sekitar pukul 22.10 WIB.
Peristiwa yang dialami Lachlan dianggap sebagai contoh buruk dari tindakan aparat penegak hukum, yang menguatkan anggapan "no viral, no justice" yaitu bahwa sesuatu baru akan ditindaklanjuti setelah viral di media sosial.
View this post on Instagram
Budiyanto, pemerhati masalah transportasi dan hukum, mengatakan, setiap orang berhak untuk berpartisipasi dalam pengawasan.
"Kita hargai pendapat tersebut karena bahwa mengviralkan terhadap kejadian lalu-lintas yang menonjol oleh masyarakat sebagai bentuk partisipasi dalam pengawasan dan keikutsertaan dalam penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan," katanya kepada Kompas.com, Selasa (19/22/2024).
Baca juga: Begini Cara Menggunakan Water Repellent pada Kaca Mobil
"Setiap orang, kelompok, badan hukum berhak untuk melakukan pemantauan, masukan, pendapat dan pertimbangan dan dukungan terhadap penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan," katanya.
Banyaknya anggapan "no viral, no justice" juga merupakan contoh kepolisian perlu meningkatkan profesionalisme.
"Yang penting semua berpikiran positif demi kebaikan bersama baik menumbuhkan kesadaran masyarakat dan untuk meningkatkan profesionalisme tugas-tugas kepolisian," ujarnya.
Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu, mengatakan, anggapan perlu viral baru dapat keadilan merupakan pukulan keras buat aparat penegak hukum.
"Kalau mengenai terminologi no viral no justice sebetulnya saya tidak bisa komentar, tapi itu menunjukkan lemahnya standar atau SOP yang ada. Sebab kalau sudah ada pelanggaran dan pelaporan harusnya dilanjuti atau dengan penanganan yang adil," ungkapnya.
Baca juga: Pameran PEVS 2025 Bidik Transaksi Rp 450 Miliar, Ada 135 Merek
"Itu adalah potret. No viral no justice harusnya jadi suatu fenomena yang memalukan para penegak hukum. Tokoh-tokoh dan petinggi penegak hukum harusnya menghapus pola semacam ini," katanya.
Jusri mengatakan, bahwa di tengah anggapan "no viral, no justice" yang berkembang saat ini, banyak orang merasa perlu untuk memiliki barang bukti berupa rekaman peristiwa yang terjadi di jalan.
Baca juga: Coating Kaca Mobil Bisa Jadi Solusi di Musim Hujan
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa dengan adanya bukti rekaman video, proses penegakan hukum bisa lebih mudah dilakukan, terutama ketika kejadian tersebut tidak disaksikan langsung oleh petugas atau pihak berwenang.
Menurutnya, rekaman video menjadi alat yang sangat penting untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian atau pihak terkait sesuai dengan prosedur dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Kadang-kadang kita pun terancam nah kita butuh pembuktian. Jika dikaitkan apakah daschcam perlu, sangat perlu sekarang di negara di mana fenomena pelanggaran terjadi di segala aspek," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.