JAKARTA, KOMPAS.com – Belum lama ini terjadi demonstrasi besar di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan oleh pengemudi truk. Mereka menuntut agar pemerintah membatalkan aturan mengenai truk Over Dimension dan Over Loading (ODOL).
Salah satu tuntutan dari para pengemudi truk adalah adanya standarisasi ongkos angkut. Pada kenyataannya, persaingan antar pengusaha truk mengenai ongkos angkut bisa dibilang kurang sehat karena permintaan dari si pemilik barang.
Pemilik barang biasanya mencari pengusaha truk yang memiliki ongkos angkut paling murah namun bisa mengangkut barang paling banyak.
Alasan ini yang mendasari mengapa truk ODOL berhasil menjadi budaya yang tidak baik dan tetap bertahan sampai saat ini di jalan raya.
Baca juga: Solusi Masalah Truk ODOL Harus dengan Pendekatan Komprehensif
Membicarakan ongkos angkut, bagaimana skema antara pemilik barang, pengusaha truk, dan pengemudinya?
Gemilang Tarigan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia mengatakan, pembagian ongkos angkut antara pengusaha truk dengan pengemudi tergantung dari sistem yang berlaku.
“Ada sistem borongan, dihitung biaya operasinya, BBM, dan segala macam, kemudian ditambah uang makan, dan jadinya berapa per hari,” ucap Gemilang kepada Kompas.com, Rabu (23/2/2022).
Baca juga: Ini Trik Sederhana Agar Ban Mobil Tidak Masuk Got Saat Mepet Kiri
Hasilnya nanti negosiasi lagi antara pengusaha truk dengan pengemudi. Negosiasi yang dilakukan biasanya melihat rute, banyak tidaknya aksi pungutan liar, dan semacamnya.
“Jakarta-Surabaya sekarang berapa biayanya, waktunya, itu sudah ada, lalu dinegosiasi, jadi berdasarkan kesepakatan. Dalam kesepakatan itu juga sudah diprediksi, ada preman di sini atau enggak, sudah tahu semua,” kata dia.
Seorang pengemudi mengungkapkan ke redaksi terkait biaya jasa angkut barang di Indonesia yang tidak ada standarnya. Sehingga, kerap terjadi perbedaan harga antara pemilik barang dengan calo.
Misalnya, untuk mengangkut sembako dari Jakarta ke Surabaya dengan Colt Diesel, jika dari pemilik barang (A1) tarifnya antara Rp 4,5 sampai Rp 5 juta. Namun turun lagi ke A2 jadi Rp 4,3 juta, begitu pun kalau sampai ke calo, bisa tinggal Rp 3,5 juta.
"Harganya itu berbeda-beda dan tidak ada patokan karena masih banyak persaingan yang tidak sehat. Sehingga imbasnya ke pengemudi," ucapnya.
Sedangkan kalau pakai Fuso dan Tronton, masalahnya juga sama mengenai harganya yang tidak ada patokan. Kemudian ongkosnya terus turun jika tidak mendapat pesanan langsung dari pemilik barang.
"A1 itu pemilik barang, A2 perusahaan logistik, turun lagi ke A3 yang biasanya rekanan logistik, A4 biasanya dari calo muatan, A5 antara pengemudi dengan calo tadi. Jadi harganya rancu," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.