JAKARTA, KOMPAS.com - Dewasa ini program zero emission tampaknya menjadi tujuan terhangat di seluruh negara guna menciptakan masa depan lebih baik dengan tingkat emisi rendah.
Beragam kebijakan baik dari sisi pemerintah maupun perusahaan bahkan kini mulai sejalan dengan harapan tersebut. Tidak terkecuali industri otomotif yang mulai memperkenalkan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (BEV).
"Senang rasanya mendengar bahwa banyak konsumen, pasar keuangan, serta media secara aktif menghargai inisiatif tersebut termasuk di dalamnya terkait perkembangan industri otomotif dan mobilitas," kata seorang praktisi otomotif Pras Ganesh dalam artikelnya, Kamis (29/7/2021).
Baca juga: Masih Lambat, Ini Kendala Penjualan Mobil Listrik di Indonesia
"Tetapi, untuk menyatakan bahwa adopsi BEV merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh, agaknya harus dipertimbangkan lebih luas lagi. Sebab, terdapat banyak aspek yang perlu dibicarakan dan cukup rumit di dalamnya," ucap Ganesh.
Menurut pria yang juga menjabat sebagai Executive Vice President of Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturing and Director of Asia Pacific Programs tersebut, setidaknya ada dua aspek yang harus dilihat untuk implementasi BEV.
Pertama ialah well-to-wheel dan siklus emisi pada kendaraan bermotor serta rantai produksinya, dan total jarak yang bisa ditempuh oleh mobil secara agregat.
"Dampak teknologi listrik terhadap perubahan iklim sangat bergantung pada bauran listrik. Studi IEA dan ICCT baru-baru ini menunjukkan bahwa sampai energi terbarukan meningkat jadi porsi yang signifikan dari bauran energi di suatu negara, maka BEV mungkin tidak substansial," kata Ganesh yang juga berstatus Executive Vice President of Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturinng dan Director of Asia Pasific Programs, Toyota Mobility Foundation.
Misalnya dalam kasus India, dalam intensitas karbon sektor listrik yang saat ini sebesar 725 gm CO2/kWhr (rata-rata global 510 gm CO2/kWhr), emisi karbon well-to-wheel cenderung lebih baik untuk Strong Hybrid Electric Vehicle (SHEV) daripada BEV.
Baca juga: Hyundai dan LG Energy Solution Bangun Pabrik Baterai di Indonesia
Situasi ini menjadi lebih nyata jika seluruh siklus produksi dan penggunaan kendaraan, termasuk di proses pengolahan bahan baku, dipertimbangkan.
Jangan sampai dari awal kendaraan diproduksi hingga tidak digunakan lagi atau dihancurkan, terjadi penciptaan emisi serta polusi berlebih. Hal tersebut berlaku juga di seluruh proses R&D, produksi (termasuk manufaktur baterai), sampai distribusi.
"Sayangnya, meskipun mendorong pertumbuhan energi terbarukan sebagian besar negara di Asia masih akan terus bergantung pada bahan bakar fosil, setidaknya dalam beberapa waktu. Ini menunjukkan mobil ramah lingkungan juga harus didorong selama itu," ujarnya.
Baca juga: Alasan Motor Trail Tidak Dilengkapi Kunci Kontak Berpengaman Magnetis
Kedaan ini menggambarkan bahwa kebijakan elektrifikasi pada otomotif harus dianggap sebagai satu kesatuan dengan kebijakan energi suatu negara, untuk mendorong opsi yang paling ramah karbon sesegera mungkin.
Kemudian, aspek kedua yang patut diperhatikan menurut Ganesh ialah jarak tempuh kendaraan secara agregat. Sebab, suatu kendaraan harus mampu dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
"BEV yang ditenagai oleh energi terbarukan mungkin cocok digunakan sebagai opsi mobilitas pribadi di dalam kota atau menggunakan rute jarak pendek yang telah ditentukan sebelumnya seperti logistik maupun transportasi umum," ujar dia.
Baca juga: Populasi SPKLU Akselerasi Penjualan Mobil Listrik di Eropa
"Tetapi, segmen pelanggan pribadi untuk kendaraan dimaksud ialah luxury, yang dapat mengakses pengisian daya listrik di rumah. Mengingat, dalam proses pengisian baterai mobil butuh daya besar," tambah Ganesh.
Maka, dalam upaya memaksimalkan perkembangan teknologi dan mencapai lingkungan yang lebih bersih dalam waktu dekat, kendaraan berjenis Plug-in Electric Vehicle (PHEV) menjadi relevan.
Apalagi, biaya yang dibutuhkan tidak begitu besar dibanding persiapan untuk BEV (dari hulu ke hilir). Seiring berjalannya waktu, tentu teknologi juga akan berkembang hingga pada akhirnya mencapai kendaraan nol emisi.
"Jalur elektrifikasi massal tersebut memiliki peluang yang paling realistis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam, terkhusus di sektor transportasi," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.