Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan PPnBM 0 Persen, Ada Rekomendasi Lain untuk Industri Otomotif

Kompas.com - 17/02/2021, 08:02 WIB
Ruly Kurniawan,
Agung Kurniawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan bebas pungutan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru dinilai tidak efektif dalam mendorong daya beli dan menggairahkan industri otomotif nasional di tengah pandemi Covid-19.

Bahkan, keputusan tersebut berpotensi mengganggu konsentrasi atas program percepataan kendaraan listrik berbasis baterai (KLBB) yang tengah digadang-gadangkan.

"Saya rasa relaksasi PPnBM ditetapkan tanpa melihat data. Pasalnya, pasar kendaraan ICE itu memang sudah jenuh dan trennya terus turun sejak 2011. Jadi, tidak efektif," kata Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) di diskusi virtual, Selasa (16/2/2021).

Baca juga: Kriteria Mobil Baru yang Dapat Insentif Pajak 0 Persen

Ilustrasi penjualan mobil. ISTIMEWA Ilustrasi penjualan mobil.

Menurut dia, pemerintah seharusnya mengambil langkah yang lebih strategis dalam memulihkan industri otomotif nasional dengan cara menghadirkan kendaraan yang lebih ramah energi dan lingkungan.

Kemudian, menerapkan dan mengketatkan pengaplikasian dari standar emisi kendaraan bermotor mulai dari Euro IV menuju Euro VI pada 2025 mendatang.

"Berdasarkan Perpres 22/2017 tentang RUEN, seharusnya Euro IV itu sudah ditetapkan pada 2020 sehingga kendaraan yang diproduksi di dalam negeri hanya boleh mengemisikan 118 g/km Co2 atau konsumsi BBM 20 Km per liter," ujar Puput, sapaan akrabnya.

"Jangan seperti Euro 2 dan Euro 3 yang berjalan tidak sempurna karena keterbatasan bahan bakar yang sesuai dan lainnya. Euro IV itu sudah compang-camping, dari 2018 ditunda terus karena banyak dalih," ucap dia.

Baca juga: Deretan Mobil-mobil di Bawah 1.500 cc yang Tidak Dapat Insentif PPnBM

Peta jalan standar emisi kendaraan bermotor Indonesia Peta jalan standar emisi kendaraan bermotor Indonesia
 

Seiring dengan hal tersebut, program KBLBB juga dijalankan sehingga dampaknya sangat luas baik untuk ekonomi nasional maupun polusi udara serta perkembangan teknologi di kendaraan bermotor.

Kedua, menetapkan cukai karbon atau carbon tax dimana kendaraan dengan tingkat karbon terendah akan memperoleh insentif tertinggi sehingga berpotensi menjadi kendaraan dengan harga jual terendah.

"Sederhananya, kendaraan yang tidak memenuhi standar karbon berlaku harganya bakal lebih mahal. Biaya berlebih tadi, akan mendiskon harga kendaraan yang rendah emisi karbon sehingga fair," kata Puput.

"Jadi pemerintah tidak pusing dari mana mencari dana guna memberikan insentif terhadap kendaraan yang rendah karbon ini. Jadi tidak ada subsidi dari negara nantinya," kata Puput, menambahkan.

Baca juga: Prediksi Harga Daihatsu Rocky di Indonesia, Setara dengan Xenia

Ekspor Mobil ToyotaFoto: TMMIN Ekspor Mobil Toyota

Terakhir, langkah strategis yang bisa diambil pemerintah ialah membaca tren global terhadap perkembangan teknologi di industri otomotif. Sehingga, mobil atau motor di Indonesia lebih advance dan mampu bersaing secara global.

"Kajian-kajian ini sebenarnya sudah didiskusikan ke ranah publik tetapi dengan pertimbangan tertentu tampak menghilang begitu saja. Saya rasa, prespektif tersebut yang patut dijalankan bukan relaksasi PPnBM pada ICE," kata dia.

"Jangan sampai kita terlalu fokus dengan kendaraan bermotor pembakaran dalam padahal sudah tidak diminati oleh pasar domestik dan global," ucap Puput.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau