Lebih dari ekonomi, merek mobil nasional dapat menjadi kebanggaan sebuah bangsa dalam perjalanannya menuju kesejahteraan bersama.
Sayangnya, kelahiran Esemka yang tidak diiringi dengan kepemilikkan dan pengembangan teknologi secara mandiri, belum mampu menjawab harapan untuk hadir menjadi lokomotif teknologi mobil menuju Indonesia maju.
Setelah tertinggal momentum kepemilikan teknologi mobil listrik, kini negara melalui pemerintah menguras pikiran untuk serius membangun industri baterai, salah satu komponen penting mobil listrik selain motor listrik.
Alasan terpilihnya industri baterai adalah karena Indonesia diititpkan oleh Tuhan cadangan bijih nikel yang besar.
Teknologi baterai yang diproduksi di Indonesia ini akan berasal dan dikerjakan oleh perusahaan asal Korea Selatan yaitu LG untuk jenis Lithium Nikel Mangan Kobalt (NMC).
Selain jenis ini, ada pula jenis Lithium Kobalt Oksida (LCO), Lithium Nikel Kobalt Aluminium (NCA), dan Lithium Besi Fosfat (LFP) yang dapat digunakan untuk mobil listrik.
Dari penjelasan ini, jelas bahwa tidak semua baterai lithium menggunakan nikel, melainkan kobalt dan lithium itu sendiri.
Teknologi baterai telah dan akan terus berkembang menggunakan unsur baru yang lebih murah sehingga harganya dapat terus lebih murah di masa depan.
Sehingga memiliki pabrik baterai bukanlah tujuan utama bangsa kita, melainkan kepemilikan atas industri mobil listrik itu sendiri yang dapat ikut menjadi tulang punggung pengembangan teknologi baterai di masa mendatang, seperti Tesla.
Mobil listrik secara teknis adalah bentuk elektrifikasi transportasi. Dengan demikian, mobil listrik akan berkaitan langsung dengan sumber, pembangkit, penyaluran dan harga listrik itu sendiri.
Jika menggunakan listrik bersubsidi, maka secara tidak langsung pemilik mobil listrik akan menikmati subsidi listrik yang mungkin bukan ditujukan untuk pemilik mobil listrik.
Penetrasi tinggi mobil listrik juga mungkin akan menyebabkan lonjakan permintaan listrik. Lonjakan yang tidak terukur dan terkendali akan menyebabkan gangguan saluran listrik yang kapasitasnya terbatas.
Hal ini ibarat memindahkan jalur distribusi bahan bakar minyak (BBM) oleh truk tangki BBM ke tiang-tiang listrik, dan memindahkan pom-pom bensin ke saluran-saluran listrik di rumah atau perkantoran lokasi dimana pengisian listrik untuk mobil listrik bisa dilakukan.
Sehingga diperlukan kajian lebih jauh tentang kesiapan infrastruktur kelistrikan Indonesia untuk mengadopsi mobil listrik.
Beberapa negara dengan penetrasi mobil listrik yang tinggi telah melaporkan kewalahan mereka atas lonjakan permintaan listrik yang mungkin menyebabkan kemacetan aliran listrik di titik-titik tertentu saluran listrik.
Kesadaran iklim
Pembakaran batubara dan gas alam yang lebih besar mungkin dilakukan oleh pembangkit listrik untuk memasok permintaan listrik yang lebih besar atas tingginya penetrasi mobil listrik.
Akibatnya, penggunaan bahan bakar fosil tetap terjadi, hanya berpindah dari bensin atau solar di kendaraan ke batubara atau gas alam di pembangkit listrik.
Dengan demikian, di wilayah atau negara yang masih menggunakan batubara untuk sebagian besar produksi listrik, pemanfaatan mobil listrik hanya akan seperti memindahkan polusi dari jalanan ke pembakit listrik tenaga uap (PLTU).