Teknologi-teknologi ini sebagian besar diperoleh dari kerjasama bangsa kita bersama bangsa lain, kecuali pesawat terbang yang dikembangkan secara mandiri. Namun bisa dikatakan bahwa mayoritas teknologi strategis tersebut dimiliki lembaga-lembaga negara.
Padahal, peran swasta sangat penting untuk ikut berperan dalam pengembangan teknologi, utamanya menuju Indonesia maju.
Kepemilikan teknologi
Di negara-negara maju, mereka banyak memberi ruang dan dukungan bagi swasta untuk menguasai dan mengembangkan teknologi, salah satunya industri mobil swasta.
Itu kenapa hari ini banyak merek mobil berasal dari nama pendiri dan pengembangnya seperti Ford, Rolls-Royce, Mercedes-Benz, Toyota, sampai Honda.
Di Indonesia, sejarah mencatat upaya pemerintah Indonesia membesut merek mobil nasional, Timor. Sayangnya, kepemilikan dan pengembangan teknologi mobil tidak menjadi yang utama sehingga yang tidak mampu berinovasi dan bertahan.
Sejarah juga akan bercerita kepada generasi Indonesia mendatang tentang jalan terjal pengembangan mobil listrik oleh Dasep Ahmadi di bengkel miliknya. Serupa yang dilakukan Henry Ford atau Soichiro Honda puluhan tahun silam.
Namun malang, kelahiran bayi industri mobil listrik Indonesia yang sejatinya perlu banyak insentif ini justru mati tersandung kasus dana hibah yang menyebabkan pendirinya Dasep Ahmadi kini dipenjara.
Belum lagi kisah-kisah berani dan sensasional putra petir bersama lokomotifnya menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan, yang telah sejak 2012 berambisi Indonesia untuk ikut mulai mengembangkan teknologi mobil listrik untuk bangsanya.
Ada pula sederet nama universitas yang gigih memperkenalkan teknologi mobil listrik masing-masing.
Mobil listrik yang dulu pernah kita kembangkan seharusnya telah dan sedang kita nikmati hari ini. Kesemuanya bagai mengulang kisah matinya pengembangan teknologi N250 oleh putra-putri terbaik milik bangsa tahun 1998.
Pengembangan teknologi butuh komitmen dan keberpihakan dari negara, itu kenapa banyak bangsa tidak mampu jadi pemilik teknologi melainkan terlena merasa cukup menjadi sekadar pedagang teknologi saja.
Kepentingan ekonomi
Dengan menjadi pemilik teknologi, Indonesia akan terus memiliki lebih banyak peluang meningkatkan kegiatan ekonominya.
Tentu bangsa kita ingin memiliki pabrik produksi lain selain Indomie yang telah beroperasi memproduksi mie instan di Malaysia, Mesir, Arab Saudi, sampai Nigeria.
Seperti Toyota yang memiliki pabrik di berbagai negara, yang salah satu basis produksinya adalah di Indonesia.
Perusahan-perusahan yang sepenuhnya swasta dan telah mendukung ekonomi masing-masing negaranya dari kegiatan ekspor bahan baku atau suku cadang, devisa, neraca perdagangan sampai deviden kepada pemilik sahamnya.
Dalam kaitannya dengan industri mobil di negara berkembang, setahun terakhir telah meluncur merek baru VinFast oleh Vietnam dan mobil listrik nasional TOGG oleh Turki.
Lebih dari ekonomi, merek mobil nasional dapat menjadi kebanggaan sebuah bangsa dalam perjalanannya menuju kesejahteraan bersama.
Sayangnya, kelahiran Esemka yang tidak diiringi dengan kepemilikkan dan pengembangan teknologi secara mandiri, belum mampu menjawab harapan untuk hadir menjadi lokomotif teknologi mobil menuju Indonesia maju.
Setelah tertinggal momentum kepemilikan teknologi mobil listrik, kini negara melalui pemerintah menguras pikiran untuk serius membangun industri baterai, salah satu komponen penting mobil listrik selain motor listrik.
Alasan terpilihnya industri baterai adalah karena Indonesia diititpkan oleh Tuhan cadangan bijih nikel yang besar.
Teknologi baterai yang diproduksi di Indonesia ini akan berasal dan dikerjakan oleh perusahaan asal Korea Selatan yaitu LG untuk jenis Lithium Nikel Mangan Kobalt (NMC).
Selain jenis ini, ada pula jenis Lithium Kobalt Oksida (LCO), Lithium Nikel Kobalt Aluminium (NCA), dan Lithium Besi Fosfat (LFP) yang dapat digunakan untuk mobil listrik.
Dari penjelasan ini, jelas bahwa tidak semua baterai lithium menggunakan nikel, melainkan kobalt dan lithium itu sendiri.
Teknologi baterai telah dan akan terus berkembang menggunakan unsur baru yang lebih murah sehingga harganya dapat terus lebih murah di masa depan.
Sehingga memiliki pabrik baterai bukanlah tujuan utama bangsa kita, melainkan kepemilikan atas industri mobil listrik itu sendiri yang dapat ikut menjadi tulang punggung pengembangan teknologi baterai di masa mendatang, seperti Tesla.
Mobil listrik secara teknis adalah bentuk elektrifikasi transportasi. Dengan demikian, mobil listrik akan berkaitan langsung dengan sumber, pembangkit, penyaluran dan harga listrik itu sendiri.
Jika menggunakan listrik bersubsidi, maka secara tidak langsung pemilik mobil listrik akan menikmati subsidi listrik yang mungkin bukan ditujukan untuk pemilik mobil listrik.
Penetrasi tinggi mobil listrik juga mungkin akan menyebabkan lonjakan permintaan listrik. Lonjakan yang tidak terukur dan terkendali akan menyebabkan gangguan saluran listrik yang kapasitasnya terbatas.
Hal ini ibarat memindahkan jalur distribusi bahan bakar minyak (BBM) oleh truk tangki BBM ke tiang-tiang listrik, dan memindahkan pom-pom bensin ke saluran-saluran listrik di rumah atau perkantoran lokasi dimana pengisian listrik untuk mobil listrik bisa dilakukan.
Sehingga diperlukan kajian lebih jauh tentang kesiapan infrastruktur kelistrikan Indonesia untuk mengadopsi mobil listrik.
Beberapa negara dengan penetrasi mobil listrik yang tinggi telah melaporkan kewalahan mereka atas lonjakan permintaan listrik yang mungkin menyebabkan kemacetan aliran listrik di titik-titik tertentu saluran listrik.
Kesadaran iklim
Pembakaran batubara dan gas alam yang lebih besar mungkin dilakukan oleh pembangkit listrik untuk memasok permintaan listrik yang lebih besar atas tingginya penetrasi mobil listrik.
Akibatnya, penggunaan bahan bakar fosil tetap terjadi, hanya berpindah dari bensin atau solar di kendaraan ke batubara atau gas alam di pembangkit listrik.
Dengan demikian, di wilayah atau negara yang masih menggunakan batubara untuk sebagian besar produksi listrik, pemanfaatan mobil listrik hanya akan seperti memindahkan polusi dari jalanan ke pembakit listrik tenaga uap (PLTU).
Inilah yang akan terjadi di Jawa atau Indonesia di mana lebih dari 50 persen listrik kita berasal dari pembakaran batubara.
Pengoperasian mobil listrik memang tidak menghasilkan emisi apa pun di jalan. Namun metode yang banyak digunakan peneliti hari ini untuk melihat sistem transportasi secara keseluruhan adalah metode well-to-wheel atau dari sumber energi sampai pemanfaatannya.
Oleh karena itu, mobil listrik tidak sepenuhnya bersih jika menggunakan listrik yang diproduksi batubara. Sederhananya, emisi mobil listrik hanya akan sebersih bahan baku dan proses pembangkitan listriknya.
Hal ini membuka peluang bagi energi terbarukan untuk menjadi sumber listrik utama dan bersih bagi mobil listrik. Dengan persentasi bauran energi terbarukan dibawah 15 persen, maka kontribusi listrik bersih hanya sekitar 15 persen untuk mobil listrik di Indonesia.
Artinya, sekitar 85 persen listrik untuk mobil listrik di Indonesia masih akan mencemari lingkungan yang akan berujung pada semakin banyaknya bencana alam akibat perubahan iklim.
Keberpihakkan negara
Di sini peran negara diperlukan untuk meningkatkan porsi sumber energi terbarukan di sistem kelistrikan nasional sesuai target yaitu 23 persen pada 2025 yang rasanya makin sulit tercapai.
Pemerintah perlu serius menyiapkan paket kebijakan untuk mendorong penerapan energi terbarukan seperti insentif bagi industri-industri yang 25- 50 persen listriknya bersumber dari energi angin, matahari atau biomasa, hingga perlunya konsorsium nasional sebagai produsen turbin angin dan panel surya, sehingga peralatan energi terbarukan semakin tersedia dan murah.
Jalan terbaik bagi Indonesia untuk meningkatkan porsi energi terbarukan di sektor transportasi adalah dengan penerapan biodiesel 50 persen sampai 100 persen pada solar (B50 sd. B100).
Serta pengembangan dan penerapan bioethanol pada bensin yang lebih terdorong dan terarah. Brasil adalah salah satu contoh negara yang sama-sama berada di kathulistiwa yang berhasil memanfaatkan kekayaan energi terbarukannya untuk menjadi sumber dari 70 persen listrik mereka, yang sebagian besar dipasok oleh biomasa.
Meskipun menghasilkan emisi gas buang saat terbakar di mesin mobil, emisi dari biomasa dihitung sebagai karbon netral yang tidak mencemari lingkungan karena berasal dari tanaman yang harapannya akan mampu didaur ulang kembali oleh hutan menjadi oksigen.
Pemanfaatan biodiesel adalah kebijakan terbaik untuk menghindarkan Indonesia dari lonjakan permintaan listrik oleh tingginya jumlah mobil listrik di jalanan, subsidi listrik yang tidak tepat sasaran, mencapai ekonomi kerakyatan dengan memberdayakan petani memproduksi bahan baku biodiesel, segera menurunkan impor minyak yang dapat berujung pada membaikknya neraca perdagangan nasional, dan teraihnya ketahanan energi nasional dengan biaya yang tidak semahal elektrifikasi seluruh mobil di Indonesia.
Namun demikian, bauran teknologi mobil tetap diperlukan untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dari ketergatungan terbatasnya variasi bahan bakar atau teknologi mobil.
Disamping teknologi mobil konvensional yang diarahkan menggunakan biodiesel dan bioethanol, teknologi mobil listrik perlu mendapat keberpihakan dengan regulasi, insentif, dan bahkan pendampingan oleh kementerian terkait, utamanya kepada BUMN, swasta atau konsorsium nasional yang berani menahkodai proyek mobil listrik nasional.
Jerman, Inggris, Amerika dan Jepang adalah bangsa-bangsa yang percaya atas kemampuan bangsanya sendiri, tentu Indonesia pun dapat meletakkan lebih banyak kepercayaan kepada bangsanya sendiri untuk menguasai lebih banyak teknologi hari ini dan masa depan.
Semoga negara dapat mewariskan lebih banyak kepemilikan teknologi untuk generasi mendatang.
https://otomotif.kompas.com/read/2021/01/24/184355515/mobil-listrik-di-indonesia-kemarin-kini-dan-esok