Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Radityo Wicaksono
Master of Engineering, Pencinta F1 dan Penggiat Blog

Full time Aircraft Performance Engineer di Garuda Indonesia & Part-time kolumnis dan narasumber Motorsport (Formula 1, Formula 2 dan Formula E)
Magister Teknik Mesin (INSA Strasbourg, Perancis) & Magister Manajemen (Universitas Pelita Harapan)

kolom

Formula E, Sang Juru Selamat Dunia Motorsport

Kompas.com - 20/01/2018, 11:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAgung Kurniawan

Selain untuk menyiapkan dunia motorsport untuk masa depan, manfaat teknologi yang digunakan pada ajang Formula E cukup beragam. Sama seperti tujuan utama dunia balap, adalah sebagai wadah penguji, satu teknologi otomotif dalam kondisi puncak. Efektivitas, tenaga, daya tahan, sampai keberlanjutan satu teknologi diuji dalam musm balap satu tahun penuh.

FIA, lewat ajang Formula E, juga mau melakukan hal serupa, sehingga mengerucut pada beberapa hal berikut ini.

Pertama, teknologi Formula E, menggunakan sumber berkelanjutan (sustainable) untuk memproduksi listrik. Sumber listrik yang digunakan untuk mengisi ulang (charge) baterai mobil Formula E memanfaatkan sumber daya yang terbarukan. Teknologi ini juga mengeluarkan emisi karbon yang jauh, sangat rendah ketika memproduksi listrik.

Bahan yang digunakan glycerine, juga terproduksi saat proses pembuatan biodiesel. Biodiesel sendiri terbuat dari tumbuh-tumbuhan, minyak nabati, dan berbagai jenis lemak lainnya, jenis bahan yang mudah ditemukan dan tentunya berkelanjutan. Untuk memproduksi listrik dari glycerine, digunakan generator diesel konvensional, yang sedikit dimodifikasi.

Hasilnya, mampu mengonsumsi glycerine sebagai bahan bakar. Berbeda dengan bensin biasa, pembakaran glycerine sangat bersih, karena tingkat emisi karbon rendah.

Tentunya teknologi ini masih terus dikembangkan FIA ke depan dan ada kemungkinan dapat digunakan oleh mobil komersial sehari-hari. Adapun, salah satu tujuan FIA dengan menyelenggarakan kejuaraan Formula E adalah menciptakan teknologi yang user friendly, bisa dimanfaatkan industri.

Kedua, perbedaan paling besar antara mesin konvensional (ICE) dan eMotor adalah proses pembuatan tenaga mekanik. ICE mengandalkan pembakaran bensin, melalui reaksi kimia. Pembakaran bensin dengan udara (oksigen) menghasilkan uap air dan juga karbondioksida. Dengan regulasi hybrid sejak 2014, setiap mobil F1 bisa menghasilkan sekitar 16.000 Kg kaborndioksida selama satu musim!

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, eMotor tidak mengandalkan reaksi kimia untuk menghasilkan tenaga, melainkan medan elektromagnetik untuk memutar rotor, dan menyalurkannya ke roda belakang.

Ketiga, jika teknologi yang ada pada Formula E bisa diserap seluruh industri otomotif, maka akan tercipta mobil listrik yang menarik untuk konsumen di masa depan. Pasalnya, saat ini energi listrik umumnya masih diproduksi melalui cara yang tidak bersih, seperti batubara, solar, atau nuklir. Alasan ini juga yang membuat, stigma mobil listrik yang mengklaim diri zero emmission, masih dipertanyakan.

Untuk mengembangkan teknologi berkelanjutan juga butuh investasi besar, seperti pembangunan kincir angin atau turbin hidrolik. Tapi, Formula E menemukan solusi yang menarik, dengan memanfaatkan glycerine, yang bisa menghasilkan listrik dengan generator diesel dimodifikasi. Otomatis, biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan sistem ini akan lebih ekonomis, ketimbang yang lain.

Selain itu, eMotor juga mempunyai efisiensi yang jauh lebih tinggi dari pada mesin konvensional. Mesin ICE biasanya mampu lebih efisien antara 20-30 persen, hasil riset yang mahal. Efisinsi jadi hal sulit dicapai pada mesin konvensional, karena banyaknya komponen yang berinteraksi pada sistem pembakaran konvensional itu. Belum lagi banyaknya gaya gesek antar komponen, plus gearbox yang ikut mengurangi efisiensi keseluruhan dari mesin itu sendiri.

2016/2017 FIA Formula E Championship in Monte-Carlo, Monaco, Saturday (13/5/2017). Sebastien Buemi (SUI), Renault e.Dams, Spark-Renault, Renault Z.E 16. 
Sam Bloxham/LAT/Formula E 2016/2017 FIA Formula E Championship in Monte-Carlo, Monaco, Saturday (13/5/2017). Sebastien Buemi (SUI), Renault e.Dams, Spark-Renault, Renault Z.E 16.

Di sisi lain, eMotor tidak memiliki komponen sebanyak mesin konvensional. Beberapa tim Formula E bahkan ada yang memilih tidak menggunakan gearbox, demimeningkatkan efisiensi. Hebatnya lagi, sebagian besar tim Formula E, telah berhasil mencapai 90 persen efisiensi powertrain. Lewatefisiensi tinggi, potensi daya listrik digunakan secara maksimal untuk menghasilkan tenaga mekanik jadi lebih optimal.

Intinya, Formula E benar-benar mendukung pemanfaatan energi berkelanjutan dengan emisi rendah. Teknologi yang terkandung di dalamnya juga bertujuan membantu industri otomotif di masa depan, agar lebih berinovasi.

Dari balapan sendiri, Formula E sudah menuju ke arah yang benar. Sirkuit yang di tengah kota-kota besar di dunia juga dirasa sangat menantang bagi pebalap, sekaligus menjadi promosi apik untuk ajang balapan baru ini. Selain itu, aksi overtaking dan racing yang sangat OK, bakal membuat Formula E punya masa depan yang cerah nantinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau