Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Artip, Menagih Utang Negara...

Kompas.com - 10/09/2008, 06:38 WIB

Bagi Artip, uang Rp 300 itu sangatlah berarti. Masa itu uang Rp 300 bisa untuk membeli 150 gram emas, atau sejumlah kerbau.

Tahun 1975, ia pernah mendatangi kantor Bank Nasional Indonesia (BNI) 1946 di Jakarta. Ia bermaksud mengambil uangnya kembali. "Waktu itu Bapak cuma dikasih uang Rp 5.000 oleh petugas bank. Katanya buat ongkos pulang," kata Omo.

Petugas bank mengatakan jika surat utang itu sudah kedaluwarsa, dan tidak bisa dicairkan. Sejak saat itu, Artip selalu bercerita kepada kelima anaknya tentang riwayat utang negara kepadanya. Ia meminta anak-anaknya untuk mengambil kembali hak mereka pada negara.

"Kata Bapak begini, 'kamu kalau utang ke bank dan enggak dibayar, rumah bisa disita. Masa uang Bapak di negara enggak bisa diambil'," lanjut Omo saat ditemui di rumahnya.

Hingga meninggal pada usia 102 tahun pada 2001 lalu, utang itu tak kunjung dibayar. Karena itulah kelima anaknya bersepakat untuk berjuang mengambil kembali uang sang ayah. Kalau perlu lewat jalur hukum,

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, anak-anak Artip sempat mengirimkan surat ke Bank Indonesia dan Menteri Keuangan, untuk menanyakan perihal piutang sang ayah. Namun jawabannya, surat utang yang puluhan tahun disimpan keluarga Artip itu sudah kadaluarsa.

Keluarga itu juga pernah mendatangi seorang pengacara yang berkantor di bilangan Cijantung, Jakarta Timur untuk mengurus pencairan surat utang itu. "Di sana malah surat utangnya diminta, dan kami akan diberi uang Rp 5 juta," kata Omo.

Kegagalan sempat membuat keluarga saudagar kerbau itu patah semangat, hingga akhirnya tahun lalu mereka bertemu dengan seorang pengacara dari Malang. Bersama dengan pengacara itu, keluarga Artip kembali berupaya mengambil "harta" keluarga.

Mereka menggugat pemerintah untuk mengganti tiga lembar surat pinjaman negara RI sebesar Rp 300 itu dengan uang senilai Rp 1,18 miliar. Nilai tersebut dihitung berdasarkan harga emas saat ini, ditambah akumulasi bunga 4 persen per bulan selama 62 tahun.

Dengan ditambah perhitungan kerugian immateriil yang diderita keluarga, mereka menggugat pemerintah mengganti utang itu dengan uang senilai Rp 11 miliar. Hingga hari ini, sidang gugatan utang negara itu sudah empat kali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Keluarga pasrah dengan hasil di pengadilan nanti. Mereka akan bersyukur jika gugatan dikabulkan, sekaligus menerima jika gugatan tak dikabulkan. Karena yang terpenting, kata Omo, mereka sudah menjalankan wasiat sang ayah untuk menagih utang negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com