KOMPAS.com – Emisi karbon merupakan musuh bersama warga dunia. International Energy Agency (IEA) mencatat, emisi karbon global mencapai 36,3 gigaton karbon dioksida (CO2) pada 2021. Angka ini meningkat sekitar 6 persen ketimbang 2020 dan memecahkan rekor emisi karbon tertinggi sepanjang sejarah.
Sebagai informasi, emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti karbon dioksida (CO2), liquefied petroleum gas (LPG), dan bahan bakar fosil.
Ketika dilepas ke atmosfer, gas tersebut akan memerangkap panas di atmosfer sehingga menimbulkan efek rumah kaca.
Dalam kadar ideal, keberadaan gas itu dapat menjaga kestabilan temperatur bumi sehingga manusia, hewan, dan tumbuhan bisa hidup.
Namun, penumpukan akibat gas rumah kaca (GRK) yang terlalu banyak dapat membuat suhu bumi meningkat. Kondisi ini kemudian dapat menyebabkan pemanasan global.
Baru-baru ini, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan bahwa konsentrasi emisi GRK di atmosfer meningkat dan telah melampaui tingkat rekor pada 2021.
WMO memprediksi bahwa peningkatan emisi GRK akan mengakibatkan cuaca yang lebih ekstrem. Dampak ini dapat meluas dan memengaruhi sektor ekonomi dan sosial.
Demi menekan angka emisi karbon global, sebanyak hampir 200 negara di dunia berkomitmen untuk menjalankan misi pengurangan emisi gas lewat Paris Agreement yang ditandatangani sejak April 2016 hingga April 2017.
Dalam perjanjian internasional itu, Indonesia turut menegaskan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) dalam upaya menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Kemudian, Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai karbon netral atau net zero emission (NZE) pada 2060.
Demi mendukung komitmen tersebut, berbagai upaya pun dilakukan oleh berbagai sektor, termasuk transportasi Tanah Air.
Dalam webinar bertajuk “Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi” yang digelar pada Jumat (15/10/2021), Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Sony Sulaksono mengatakan bahwa sektor transportasi menyumbang 21 persen emisi karbon di Indonesia.
Tantangan sektor transportasi
Guna menekan emisi karbon pada sektor transportasi, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun melakukan tiga upaya pendekatan, yakni pencegahan (avoid), pergeseran (shift), dan peningkatan (improve).
Dalam webinar bertajuk “3rd Indonesia Energy Efficiency and Conservation Conference and Exhibition (IEECCE)” yang diselenggarakan pada Senin (14/6/2021), Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa pendekatan pertama, yaitu pencegahan, dilakukan dengan mengembangkan kawasan transit oriented development (TOD) di wilayah perkotaan.
Konsep tersebut dapat menciptakan ekosistem transportasi massal transit yang terintegrasi dan ramah lingkungan.
Lewat pendekatan itu pula, komunitas pejalan kaki dan pesepeda dapat tercipta sehingga mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat untuk menjalani hidup lebih sehat.
Sementara itu, pendekatan kedua, yakni pergeseran yang dilakukan dengan mengoptimalkan kapasitas dan kualitas layanan transportasi umum perkotaan.
Sebagai contoh, dengan memberikan subsidi transportasi massal perkotaan melalui skema buy the services di sektor transportasi jalan.
Adapun pendekatan ketiga, yaitu peningkatan. Pendekatan ini dilakukan melalui pemanfaatan teknologi untuk mendukung peningkatan kinerja transportasi ramah lingkungan. Contohnya, penggunaan kendaraan pribadi atau angkutan massal yang lebih efisiein.
Selain itu, masyarakat juga bisa menggunakan kendaraan yang memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT).
Biosolar 30 atau B30, misalnya, dapat menjadi salah satu EBT yang bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan ramah lingkungan.
B30 merupakan pencampuran antara bahan bakar diesel atau solar dengan fatty acid methyl ester (FAME). Adapun FAME merupakan kandungan nabati yang berasal dari pengolahan kelapa sawit.
Pada dasarnya, B30 merupakan kesinambungan dari B20. Tingkat campuran FAME yang semula hanya 20 persen kini ditingkatkan menjadi 30 persen.
Sebagai EBT, penggunaan B30 dinilai lebih sedikit menghasilkan emisi karbon jika dibandingkan dengan solar murni.
Kendaraan elektrifikasi
Pemanfaatan EBT ramah lingkungan dalam sektor transportasi juga bisa dihadirkan melalui kendaraan elektrifikasi. Pemerintah pun menaruh harapan besar agar Indonesia dapat memanfaatkan kendaraan listrik.
Saat berbicara pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan bahwa penggunaan kendaraan elektrifikasi dapat menjadi salah satu upaya untuk mencapai target NDC pada 2030.
Berbagai upaya pun dilakukan untuk mempersiapkan ekosistem kendaraan elektrifikasi dari hulu ke hilir.
Mulai dari regulasi yang sesuai, ketersediaan infrastuktur, produksi, dan rantai pasok, kesiapan sumber daya manusia (SDM) dan tenaga ahli di bidang elektrifikasi, hingga kesadaran masyarakat dijadikan fokus pemerintah untuk menghadapi era elektrifikasi.
Karena karbon merupakan musuh bersama, netralitas karbon pun dapat dicapai jika seluruh pihak diberikan kesempatan untuk berkontribusi.
Oleh sebab itu, dibutuhkan solusi praktis serta berkelanjutan dengan menggabungkan berbagai pilihan dan teknologi yang dapat dipilih berdasarkan kebutuhan konsumen.
Sejumlah teknologi itu termasuk flexy-engine yang menggunakan biofuel atau etanol, hybrid electric vehicle (HEV), plug-in hybrid electric vehicle (PHEV), battery electric vehicle (BEV), full cell electric vehicle (FCEV), dan low cost green car (LCGC).
Solusi praktis dan berkelanjutan tersebut diharapkan dapat meminimalkan gangguan atau disrupsi negatif dalam industri otomotif nasional.
Untuk diketahui, transisi menuju era elektrifikasi berpotensi menyebabkan disrupsi pada ribuan perusahaan komponen kendaraan konvensional yang memiliki jutaan tenaga kerja, termasuk supplier lokal.
Sebaliknya, transisi SDM, teknologi, dan kesiapan rantai pasok dalam menghadapi era elektrifikasi justru diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional bagi 1,5 juta SDM yang terlibat dalam sektor otomotif dari hulu hingga hilir.
Dengan semangat gotong royong, pihak swasta dan akademia pun diharapkan bisa ambil bagian dalam mendukung upaya pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen sekaligus key player kendaraan listrik dalam global supply chain.
Kolaborasi triple helix antara pemerintah, swasta, serta akademia dapat diwujudkan melalui inovasi dan pengembangan teknologi kendaraan elektrifikasi.
Salah satunya dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Langkah ini dimulai dengan kehadiran xEV Center di Karawang, Jawa Barat.
Untuk diketahu, xEV Center merupakan fasilitas pembelajaran dan pengembangan kapabilitas terkait elektrifikasi serta energi hijau. Fasilitas ini juga merupakan katalisator pengembangan teknologi dan industrialisasi kendaraan elektrifikasi di Indonesia.
Kehadiran xEV Center diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan generasi muda terhadap pentingnya mewujudkan lingkungan yang lebih hijau melalui kehadiran berbagai teknologi elektrifikasi di Indonesia.
Generasi muda Indonesia pun dapat berperan aktif menjadi salah satu pelopor atau forerunner dalam pembelajaran serta penelitian teknologi elektrifikasi, energi hijau, dan mobility di Indonesia.
Dengan kolaborasi tersebut, komitmen NDC pada 2030 dan NZE pada 2060 Indonesia diharapkan dapat tercapai.
https://otomotif.kompas.com/read/2022/06/16/115901015/karbon-jadi-musuh-bersama-bagaimana-langkah-bersama-menghadapinya