Lokasi tujuan adalah Rumah Betang, tempat tinggal tradisional Suku Dayak yang terletak masih di dalam Kota Khatulistiwa. Lokasi ini menjadi obyek wisata ketiga setelah Tugu Khatulistiwa dan Kesultanan Kadariah yang lebih dulu dikunjungi pada hari pertama perjalanan Avanzanation Journey 2014.
Sejarah
Rumah Adat Betang merupakan tempat tinggal khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru pulau terbesar di Indonesia itu. Suku Dayak menjadikan rumah ini sebagai tempat tinggal terutama di hulu sungai mengalir.
Desainnya unik, seperti rumah panggung dan memanjang. Tak tanggung-tanggung, panjangnya mencapai 30-150 meter dengan lebar 10-30 meter. Setiap rumah punya tiang yang tingginya 3-5 meter. Batang yang digunakan berukuran besar, biasanya menggunakan kayu berkualitas tinggi, seperti ulin. Selain kuat, kayu ulin berusia ratusan tahun karena anti rayap.
Satu rumah dihuni oleh 100-150 jiwa yang tergabung dalam satu keluarga dan dipimpin oleh Pambakas Lewu. Hampir semua suku Dayak, mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah betang.
Pusat Kehidupan
Selain untuk berlindung dari panas dan hujan, Rumah Betang merupakan pusat segala kegiatan tradisional Suku Dayak. Kegiatannya unik, menyerupai proses pendidikan tradisional non-formal yang tercipta karena budaya turun-temurun. Di dalam rumah ini mereka membina keakraban, berbincang-bincang, bersosialisasi, dan saling bertukar pikiran. Mereka juga berbagi pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan antar masing-masing penghuni.
Masyarakat Dayak punya naluri untuk selalu hidup berdampingan dengan alam dan warga masyarakat lain. Mereka menjunjung tinggi komunitas harmonis, sehingga terus menjaga hubungan antar anggota menjadi lebih baik, dan mengutamakan kepentingan bersama. Pola ini dilandasi cara pikir religio-magis, yang menganggap setiap warga punya kedudukan dan hak hidup yang sama dalam lingkungan.
Lestarinya Rumah Betang sampai saat ini, membuktikan kalau masyarakat Dayak terbuka akan perubahan, baik dari dalam atau luar. Apalagi kalau perubahan itu menguntungkan dan sesuai kebutuhan rohani atau jasmani mereka.
Kerajaan Muslim
Sebelum beranjak ke Samarinda dan melanjutkan perjalanan, rombongan Avanzanation Journey kembali ke Istana Kesultanan Kadariah, yang sempat dikunjungi pada hari pertama. Lokasinya di tepi Sungai Kapuas, Kalimantan. Seluruh bangunan hampir seluruh konstruksinya menggunakan kayu dan dibangun oleh Sultan Pontianak Alkadrie pada 1771. Kuning menjadi warna paling dominan menghiasi bangunan yang sempat diakui Belanda sebagai Kerajaan Pontianak sejak 1779.
Merupakan hasil eksplorasi Alkadrie asal Arab Saudi yang menikahi Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Sepuh Tamjidullah, Raja Banjarmasin. Pasangan ini kemudian tinggal di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Kadariah. Konon, Alkadrie dikatakan sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad.
Dari desain bangunannya, Istana Kadariah terlihat berbeda dengan Suku Dayak. Bangunannya justru kental nuansa melayu, seperti bangunan-bangunan yang ada di Sumatera. Warna kuning yang dominan melambangkan kejayaan dan budi pekerti bagi Suku Bangsa Melayu.
Tampilan luar bangunan ini terasa sederhana. Tapi, ketika didalam baru terlihat kemewahannya. Terdiri dari empat lantai, istana ini terasa megah dan luas sama seperti hunian raja lain di Indonesia.
Belajar sejarah dan budaya Indonesia merupakan salah satu tujuan perjalanan Avanzanation Journey 2014. Selain membuktikan ketangguhan Avanza sebagai mobil terlaris di Indonesia, juga melihat bagaimana kedekatannya dengan keanekaragaman budaya bangsa ini. Bukti, kalau Avanza bisa diterima di semua kalangan, lintas suku, budaya, agama, etnis tertentu di seluruh Indonesia.