Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei 49 Persen Warga Jakarta Menolak Pembatasan Usia Kendaraan

Kompas.com - 28/06/2024, 11:02 WIB
Ruly Kurniawan,
Agung Kurniawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pemberlakuan pembatasan usia kendaraan bermotor di Daerah Khusus Jakarta (DKJ) masih menjadi perdebatan hangat. Mengingat, kebijakan tersebut memiliki dampak yang sangat panjang terhadap masyarakat.

Dengan mempertimbangkan berbagai aspek, sebanyak 49,2 persen masyarakat di Jakarta tidak setuju dengan pembatasan kendaraan. Alasan utamanya, tak semua orang bisa beli mobil atau sepeda motor baru.

Demikian hasil survei lembaga Kedai KOPI yang dilakukan sepanjang 11-14 Juni 2024 dengan melibatkan 445 responden. Metode pengambilan data pada studi ini melalui computerized assisted self-interview (CASI).

Baca juga: Pemerintah Belum Kasih Sinyal Soal Kenaikan Harga BBM Subsidi

Kendaraan bermotor melambat akibat terjebak kemacetan di jalan Jenderal Sudriman, Jakarta Pusat, Kamis (8/8/2019). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk memperluas sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap. Sosialisasi perluasan ganjil genap dimulai dari 7 Agustus hingga 8 September 2019. Kemudian, uji coba di ruas jalan tambahan dimulai pada 12 Agustus sampai 6 September 2019.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Kendaraan bermotor melambat akibat terjebak kemacetan di jalan Jenderal Sudriman, Jakarta Pusat, Kamis (8/8/2019). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk memperluas sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap. Sosialisasi perluasan ganjil genap dimulai dari 7 Agustus hingga 8 September 2019. Kemudian, uji coba di ruas jalan tambahan dimulai pada 12 Agustus sampai 6 September 2019.

”Berdasarkan temuan kami, sebanyak 49,2 persen responden menyatakan mereka tidak setuju dengan adanya aturan yang membatasi jumlah usia dan kepemilikan kendaraan bermotor," kata Direktur Riset & Komunikasi Kedai KOPI, Ibnu Dwi Cahyo dalam keterangannya, Kamis (27/6/2024).

"Angka tersebut lebih banyak dibandingkan dengan publik yang setuju dengan persentase 40,2 persen. Dan 10,6 persen sisanya mengaku tidak tahu dengan adanya kebijakan itu," lanjut dia.

Menurut dia, responden yang berasal dari generasi X dan milenial tingkat tidak setuju lebih dari 50 persen, yakni 57,9 persen dan 55,2 persen dan generasi Z.

Sebanyak 54,7 persen masyarakat yang tidak setuju, beralasan bahwa kondisi ekonomi masyarakat saat ini masih sulit jika harus membeli kendaraan baru secara berkala yaitu setiap 10 tahun sekali.

Faktor kedua terbesar, adalah masyarakat lebih menginginkan agar pemerintah berfokus kepada kelayakan kendaraan alih-alih usia kendaraan (23,3 persen).

"Alasan ketersediaan akses transportasi umum yang tidak merata menjadi alasan terbesar ketiga (13,2 persen)," kata Ibnu.

Baca juga: Nasib Aleix Espargaro Usai Umumkan Pensiun dari MotoGP

Kemacetan panjang di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020). Lembaga Pemantau Kemacetan Lalu Lintas TomTom memastikan Jakarta ada di posisi ke-10 kota termacet di dunia pada 2019 dengan indeks kemacetan 10 persen.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Kemacetan panjang di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020). Lembaga Pemantau Kemacetan Lalu Lintas TomTom memastikan Jakarta ada di posisi ke-10 kota termacet di dunia pada 2019 dengan indeks kemacetan 10 persen.

Lebih jauh, ia menyatakan warga di Jabodetabek sudah menyadari dan merasakan bahaya dari menumpuknya kendaraan di Jakarta.

Selain kemacetan, polusi udara menjadi salah satu faktor terbesar masyarakat mendukung kebijakan pembatasan usia dan kepemilikan kendaraan di Jakarta.

”Faktor kemacetan dan polusi udara menjadi dua hal terbesar yang dipertimbangkan responden kami yang pada akhirnya membawa mereka untuk setuju dengan adanya pembatasan usia dan kepemilikan kendaraan di Jakarta dengan masing-masing berjumlah 44,7 persen dan 26,8 persen," ujar dia.

Apabila kebijakan itu benar-benar diterapkan Pemerintah DKJ, sebesar 82,2 persen responden menyatakan mereka akan menggunakan transportasi umum dan 35,3 persen akan menggunakan kendaraan alternatif.

"Kemudian sebanyak 22,2 persen memilih akan berjalan kaki, serta ada juga yang akan pindah lokasi kerja menjadi lebih dekat, namun itu hanya 0,7 persen saja,” tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau