JAKARTA, KOMPAS.com - Produsen knalpot aftermarket meminta berbagai instansi mulai Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan serta Kepolisian untuk duduk bersama.
Sebab saat ini komitmen dan tindakan tegas polisi untuk memberantas pengguna knalpot brong yang dianggap mengganggu telinga, membawa dampak signifikan pada kelangsungan hidup produsen knalpot.
Edi Nurmanto, Ketua Asosiasi Pengusaha Knalpot Seluruh Indonesia (Aksi), mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD) bersama instansi terkait mengenai legalitas knalpot aftermarket.
Baca juga: Pemerintah Berharap BYD Bisa Pakai Baterai Mobil Listrik Lokal
"Kami berupaya bisa berdiskusi dengan pemerintah dan dinas terkait, di mana pada tahun 2015 rencananya akan digelar forum diskusi antara Kemenperin, Perhubungan dan dinas terkait lain termasuk KLH, Korlantas dan pengrajin (knalpot) itu sendiri," kata Edi kepada Kompas.com, Kamis (18/1/2024).
"Tapi pada 2015 rencana itu gagal dan sampai sekarang belum jadi. Waktu itu tempatnya ada di Kemenperin," ujar Edi.
Edi alias Abenk, yang juga pemilik knalpot aftermarket dengan merek Abenk Muffler, mengatakan, tujuan duduk bersama adalah untuk menyatukan persepsi mengenai knalpot brong yang jadi topik saat ini.
Abenk menilai peraturan mengenai knalpot aftermarket kurang rinci. Perlu ada aturan yang jelas mengenai knalpot aftermarket supaya di satu sisi juga tidak merugikan para pengrajin atau pengusaha knalpot.
Baca juga: Tanggapan PO Bus Soal Fenomena Klakson Basuri yang Dinilai Bahaya
"Harapan kami semoga pemangku kebijakan di Indonesia membuat aturan perundang-undangan turunan dari KLH, jadi ada turunannya sehingga nantinya bisa terpilah antara knalpot racing dan aftermaket," katanya.
Abenk mengatakan, knalpot aftermarket perlu didorong untuk dibuatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga pemakai knalpot di jalan tidak khawatir kena razia polisi.
Namun aturan yang sifatnya teknis sampai saat ini belum ada. Sehingga pemakai knalpot aftermarket yang dirugikan, karena dianggap sebagai knalpot brong sedangkan aturan knalpot aftermarket belum ada.
"Knalpot adanya di Kemeperin sedangkan Kepolisian hanya menjalankan peraturan UU," katanya.
Selama ini kata Abenk, saat merazia knalpot pengendara motor polisi hanya berpegang pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2019 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan.
Baca juga: Pengendara Tidak Punya SIM Jadi Penyebab Kecelakaan Terbesar di 2023
Padahal knalpot aftermarket yang dijual sudah mengikuti tingkat kebisingan maksimal untuk motor kubikasi 80 cc sampai 175 cc sebesar 80 desibel (db), dan untuk motor kubikasi di atas 175cc sebesar 83 db.
Polisi kemudian berdalih menggunakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) Pasal 106 ayat (3) juncto pasal 285 ayat (1).
Menurut ketentuan baku terkait lalu-lintas tersebut, knalpot brong dianggap tidak memenuhi aturan teknis terkait laik jalan kendaraan. Ganjarannya adalah berupa denda maksimal senilai Rp 250.000.