JAKARTA, KOMPAS.com - Angkutan umum ilegal layaknya travel gelap, rupanya menjadi salah satu alternatif bagi sebagian orang yang membutuhkan moda transportasi untuk berpergian.
Apalagi di masa pandemi Covid-19, di mana banyak aturan syarat perjalanan yang dinilai menyulitkan serta memakan banyak biaya. Belum lagi harga tiket angkutan umum resmi juga tidak murah.
Djoko Setijowarno, Pengamat Transportasi mengatakan, maraknya angkutan umum ilegal ini salah satu faktor besarnya dikarenakan memang ada demand atau pasarnya.
"Keberadaan transportasi umum ilegal ini karena ada kebutuhan. Contoh orang yang kerja di Jabodetabek banyak dari kawasan pedesaan, kalau dari desa ke kota tidak ada ada angkutan lagi, jadi rombongan sewa kendaraan ke Jakarta. Ada peluang sehingga berkembang pesat di saat pandemi," kata Djoko dalam webinar Penegakan Humum Angkutan Ilegal, Jumat (23/7/2021).
Baca juga: Angkutan Umum Ilegal Ikut Menyumbang Penyebaran Covid-19
Ketua Umum DPP Organda Adrianto Djokosoetono, juga mengungkapan hal senada. Menurut dia, pada masa pandemi di mana banyak aturan terkait perjalanan orang ke luar kota, tapi di satu sisi, ada juga kebutuhan masyarakat untuk tetap keluar.
Hal tersebut seakan menjadi angin segar angkutan umum ilegal, lantaran mampu memberikan apa yang dibutuhkan masyarakat. Contoh ketika adanya larangan mudik Lebaran beberapa waktu lalu.
"Angkutan ilegal ini sanggup mencari jalur-jalur yang tidak ada penyekatan, sanggup menunggu waktu yang lebih tepat melewati titik yang aman, dan yang paling membahayakan, mereka sanggup mengantar sampai tujuan tanpa surat bebas Covid-19 (PCR atau Swab)," ucap Adrianto.
Kondisi tersebut juga diutrakan Anthony Steven Hambali, Direktur Utama PT Sumber Alam Ekspress, yang mengungkapkan hadirnya angkutan ilegal makin jadi sorotan ketika masa-masa pandemi.
Baca juga: Cerita Bagaimana Awal Mula Hadirnya Angkutan Pelat Hitam
Saat angkutan resmi tertahan serta diawasi pemerintah terkait pergerakan ketika mudik Lebaran, transportasi ilegal justru sebaliknya. Bebas berjalan meski melewati jalan-jalan tikus.
"Angkutan ilegal ini menjawab kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek, yang penting bisa mudik bisa sampai, tapi hal ini tidak baik untuk iklim usaha. Contoh saat ini yang resmi tidak boleh bergerak, tapi angkutan ilegal tetap," ucap Anthony.
Terkait soal harga, Anthony menjelaskan bila angkutan resmi lebih mahal dibandingkan ilegal karena adanya biaya-biaya yang besar. Mulai untuk perawatan kendaraan, perizinan, karyawan, dan lain sebagainya.
Sedangkan angkutan ilegal, tidak perlu menanggung banyak biaya. Kondisi tersebut yang membuat persaingan harga tidak sehat.
Namun bila dibandingkan secara aspek pelayanan, apalagi perlindungan konsumen, transportasi ilegal tidak bisa memberikan jaminan apapun terhadap para penggunanya.
Baca juga: Dilema Berantas Angkutan Umum Ilegal, Banyak Backing Aparat
"Pergeseran moda tranportasi masyarakat dari angkutan ilegal karena kami yang legal harus patuh saat kebijakan larangan mudik. Ketika pemerintah bilang setop, kami berhenti, tapi yang ilegal ini kan tidak," ujar Anthony.
"Yang aneh harusnya bisa dilihat, saat Lebaran kami (angkutan resmi) tidak bergerak, tapi angka pandeminya tinggi, masyarakat bisa tetap berpindah tempat, dengan apa, ya angkutan ilegal itu karena kami tidak bergerak," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.