Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pentingnya Skema Buy The Servis bagi Pengusaha Angkutan Umum

Kompas.com - 18/06/2020, 10:02 WIB
Stanly Ravel,
Agung Kurniawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Efek pandemi Covid-19 membuat sektor transportasi umum, khususnya di darat, berlahan namun pasti mulai ditinggalkan. Banyak masyarakat cenderung kembali menggunakan kendaraan pribadi lantaran memiliki tingkat penularan atau papaan virus yang lebih rendah.

Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian karena secara tidak langung menjadi ancaman bagi moda angkutan umum. Pihak operator perlu menawarkan berbagai inovasi yang tetap memperhatikan protokol kesehatan, di lain sisi, pemerintah juga harus ikut intervensi terhadap hal ini.

Pengamat transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyaratakan MTI Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, untuk masalah adaptasi kebiasaan baru paling krusial adalah dari sektor angkutan darat.

Baca juga: Kasus Ambulans Terjadi Lagi, Ingat Kendaraan dengan Hak Utama di Jalan

"Kesulitannya karena di darat memiliki banyak jenis sarana, dari yang legal secara undang-undang sampai yang illegal seperti ojek online dan ojek pangkalan. Belum lagi diperparah dengan kenyataan bila jasa angkutan umum banyak yang dijalankan oleh perorangan alias bukan berbentuk badan usaha profesional," ucap Djoko kepada Kompas.com, Rabu (17/6/2020).

Antrian angkutan mikrolet memenuhi Terminal Kampung Melayu sampai menutupi jalur Transjakarta. Kondisi padatnya angkutan umum ini diakibatkan sepinya penumpang di bulan puasa. Kamis (3/7/2014).Kompas.com/Robertus Belarminus Antrian angkutan mikrolet memenuhi Terminal Kampung Melayu sampai menutupi jalur Transjakarta. Kondisi padatnya angkutan umum ini diakibatkan sepinya penumpang di bulan puasa. Kamis (3/7/2014).

Usaha perseorangan tersebut, menurut Djoko orientasinya lebih untuk mengumpulkan pendapatan setiap hari dengan pola setoran ke majikan atau pemilik kendaraan. Praktik seperti itu, harusnya sudah ditinggalkan, terutama pada masa-masa adaptasi menuju new normal.

Namun demikian, pemerintah harus hadir dengan menawarkan konsep pembelian layanan alias buy the service seperti yang sudah dijalan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan Transjakarta yang kemudian diikut oleh pemerintah daerah lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, serta Palembang.

Baca juga: Menanti Kehadiran Generasi Baru Nissan X-Trail ke Indonesia

Pada prinsipnya, dasar program pembelian layanan adalah pemerintah daerah mengalokasikan anggaran guna membeli layanan jasa angkutan yang disediakan suatu perusahaan (BUMN, BUMD, atau swasta) dengan kriteria tertentu yang terlebih dahulu ditetapkan dan disepakati. Setelah itu, perusahaan penyedia jasa menjalin kontrak kerja dengan pemerintah yang menyediakan anggarannya.

"Kuncinya sangat tergantung pada kemampuan dan kemauan masing-masing pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran, sistem manajemen yang diterapkan, serta ada atau tidaknya kebijakan lain yang mendukung penyelenggaraan angkutan umum," ujar Djoko.

Bus transjakarta melenggang di antara kemacetan di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020). Lembaga Pemantau Kemacetan Lalu Lintas TomTom memastikan Jakarta ada di posisi ke-10 kota termacet di dunia pada 2019 dengan indeks kemacetan 10 persen.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Bus transjakarta melenggang di antara kemacetan di Jalan M.H Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020). Lembaga Pemantau Kemacetan Lalu Lintas TomTom memastikan Jakarta ada di posisi ke-10 kota termacet di dunia pada 2019 dengan indeks kemacetan 10 persen.

Selain pemerintah daerah, menurut Djoko kondisi ini juga harus didukung oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Karena kebijakan tersebut juga didasarkan amanah dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya pada Pasal 138 ayat (2) dan Pasal 158 ayat (1), dengan bunyi ;

"Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum." dan "Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan menuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan.”

Dari uraian tersebut, Djoko menjelaskan dengan bahwa kondisi pengusahaan angkutan umum masih banyak berstatus perorangan, maka sudah selayaknya pemerintah pusat bersama dengan daerah melaksanakan restrukturisasi perizinan angkutan umum sekaligus dibarengi penerapan konsep baru berupa pembelian layanan.

Baca juga: Kemenhub Ancam Cabut Trayek Bus AKAP Liar

Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (8/6/2020). Pada pekan pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi dan hari pertama dimulainya kembali aktivitas perkantoran, arus lalu lintas di sejumlah jalan di DKI Jakarta terpantau padat hingga terjadi kemacetan. ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj. Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (8/6/2020). Pada pekan pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi dan hari pertama dimulainya kembali aktivitas perkantoran, arus lalu lintas di sejumlah jalan di DKI Jakarta terpantau padat hingga terjadi kemacetan.

"Konsekuensinya memang mengharuskan alokasi anggaran untuk membeli layanan jasa angkutan. Namun itu menjadi salah satu cara untuk angkutan umum agar bisa beradaptasi dengan kebiasaan baru serta memenuhi protokol kesehatan," ucap Djoko.

"Sebenarnya, dana yang dibutuhkan tidak harus bersumber dari anggaran pemerintah, tapi memungkinkan melibatkan pihak lain, seperti perusahaan besar yang punya kemampuan menyisihkan dana tanggung jawab sosialnya pada bidang layanan angkutan umum," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com