Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarif Ojek Online Naik, YLKI Minta Ada Peningkatan Pelayanan

Kompas.com - 16/03/2020, 11:38 WIB
Stanly Ravel,
Aditya Maulana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Naiknya tarif ojek online mulai 16 Maret 2020, maka resmi wilayah Jabodetabek atau Zona II menjadi daerah yang memiliki besaran tarif lebih tinggi dari dua zona lainnya.

Meski kenaikan sudah disepakati bersama, namun Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta agar pihak aplikator membenahi sistem kenyamanan dan keselamatan, terutama untuk masyarakat yang menjadi konsumennya.

Hal ini sampaikan oleh Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, ketika menghadiri konferensi pers beberapa hari lalu. Menurut dia, adanya kenaikan tarif ojek online harus diikuti dengan peninkatan standar pelayanan dari pihak aplikator.

Baca juga: Hari Ini Tarif Ojek Online di Jabodetabek Resmi Naik

"Kenaikan sebesar Rp 250 masih dalam tahap terjangkau, tapi demikian kami minta pihak aplikator untuk meningkatkan segi pelayanan dan keselamatan untuk konsumen. Kita sama-sama tahu kalau yang namanya sepeda motor itu adalah jenis transportasi yang tingkat safety-nya paling rendah, jadi harus diperhatikan itu," ucap Tulus beberapa waktu lalu.

Pengemudi ojek online menunggu penumpang di Kawasan Stasiun Sudirman, Jakarat Pusat, Rabu (11/3/2020). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi menaikan tarif ojek online untuk zona 2 atau wilayah Jabodetabek pada 16 Maret 2020. Kemenhub memutuskan untuk menaikan tarif batas bawah (TBB) ojol sebesar Rp 250 per kilometer (km) menjadi Rp 2.250 per km, dari sebelumnya Rp 2.000 per km.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Pengemudi ojek online menunggu penumpang di Kawasan Stasiun Sudirman, Jakarat Pusat, Rabu (11/3/2020). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi menaikan tarif ojek online untuk zona 2 atau wilayah Jabodetabek pada 16 Maret 2020. Kemenhub memutuskan untuk menaikan tarif batas bawah (TBB) ojol sebesar Rp 250 per kilometer (km) menjadi Rp 2.250 per km, dari sebelumnya Rp 2.000 per km.

Tulus meminta pihak aplikator, yakni Grab dan Gojek untuk lebih meningkatkan sisi keselamtan bagi penumpangnya. Hal ini bisa dilakukan baik melalui pelayanan atau pun jaminan seperti adanya asuransi kecelakaan dan lain sebagainya.

Selain itu, Tulus juga mengingatkan kembali aplikator menyediakan fasilitas-fasilitas yang sebelumnya sudah diberikan untuk konsumen. Contohnya seperti masker dan penutup kepala.

Tulus menjelaskan saat ini pelayanan ojol tak seperti saat awal berjalan. Fasilitas yang menjadi hak milik konsumen mulai dikurangi, namun tarif terus meningkat.

"Tidak ada komporomi untuk masalah safety di motor, kalau kita lihat korban kecelakaan motor ini masih jauh lebih besar dari virus corona. Lalu saat awal-awal masker dan tutup kepala diberikan, kini tidak. Jadi tolong diberikan lagi, kalau bisa justru ditingkatkan seperti menyediakan jas hujan yang layak, dan lainnya," ucap Tulus.

Baca juga: Ojek Online Punya Tarif Batas Atas dan Bawah, Apa Maksudnya ?

Pengemudi ojek online dengan penumpangnya berada di Kawasan Stasiun Sudirman, Jakarat Pusat, Rabu (11/3/2020). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi menaikan tarif ojek online untuk zona 2 atau wilayah Jabodetabek pada 16 Maret 2020. Kemenhub memutuskan untuk menaikan tarif batas bawah (TBB) ojol sebesar Rp 250 per kilometer (km) menjadi Rp 2.250 per km, dari sebelumnya Rp 2.000 per km.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Pengemudi ojek online dengan penumpangnya berada di Kawasan Stasiun Sudirman, Jakarat Pusat, Rabu (11/3/2020). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi menaikan tarif ojek online untuk zona 2 atau wilayah Jabodetabek pada 16 Maret 2020. Kemenhub memutuskan untuk menaikan tarif batas bawah (TBB) ojol sebesar Rp 250 per kilometer (km) menjadi Rp 2.250 per km, dari sebelumnya Rp 2.000 per km.

Tak hanya itu, Tulus juga meminta pemerintah dan para driver ojol agar tak kerap melakukan demo untuk meminta kenaikan tarif. Hal tersebut dianggap sebagai kebijakan publik yang tidak sehat.

"Ke depan jangan lagi ada kenaikan tarif cuma karena adanya aksi demonstrasi, ini tidak sehat untuk kebijakan publik karena adanya tekanan dari massa, terutama driver-nya. Jadi para driver ini jangan menggunakan massa untuk menekan pemerintah dan masyarakat lagi, karena ini menjadi preseden buruk, kebijakan publik harus berbasis kerena kebutuhan," ucap Tulus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau