Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rizka S Aji

Pemerhati masalah industri otomotif tanah air. Pernah berkecimpung menjadi jurnalis otomotif selama 15 tahun. Penyunting buku “Kiprah Toyota Melayani Indonesia (Gramedia; 2004)’ ; 50 Tahun Astra (Gramedia). Penggiat blog sosial  www.seribuwajahindonesia.com. Penyuka fotografi hitam putih

kolom

Kendaraan Listrik dan Industri Otomotif Indonesia

Kompas.com - 02/06/2018, 09:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tetapi, manakala bersinggungan dengan kepentingan para pemilik modal transnasional, kebijakan itu harus disesuaikan.

Apalagi sebelumnya Indonesia tahun 1992 sudah mendatangani perjanjian Asean Free Trade Area (berlaku tahun 1999) yang salah satu butirnya adalah membuat tarif yang sama dengan sesama anggota ASEAN. Peluang ini kemudian menjadi langkah strategis pabrikan otomotif dunia untuk masuk di kawasan.

Seperti Toyota yang merancang proyek mobil dengan platform sama dikenal sebagai International/Innovative Multipurpose Vehicle yang menelurkan Kijang Innova, Toyota Hilux dan Toyota Fortuner dibuat dalam satu platform sama. Pun demikian dengan pabrikan lain, semacam Mitsubishi dan Ford yang mengincar pasar Tanah Air.

Adanya krisis dan rencana strategis pabrikan itulah yang semakin menekan industri otomotif Tanah Air yang mengusung merek sendiri untuk berkembang. Walaupun, sempat juga di akhir dekade tahun 2000, pemerintah menelurkan kebijakan mobil Low Cost Green Car (LCGC) yang salahsatunya adalah menggunakan merek lokal, seolah menjadi pelipur untuk mengembangkan industri otomotif yang memakai merek nasional.

Baca juga: Elon Musk Kirim Mobil Tesla ke Mars

Kendaraan Listrik dan Arah Kebijakan Otomotif Nasional

Kini harapan mulai ditimbulkan oleh pemerintahan Joko Widodo dengan akan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah perihal Produksi kendaraan listrik oleh Badan Usaha Milik Negara. Harapannya, dengan adanya kendaraan listrik ini, bisa menarik gerbong industri komponen otomotif yang melengkapinya.

Efek bola salju industri otomotif memang tak diragukan lagi. Sedikitnya 15.000 komponen untuk menjadikan sebuah mobil utuh. Artinya, andai separuh komponen itu di produksi di dalam negeri, paling tidak ada 7.500 perusahaan komponen yang terlibat. Itu baru di tier 1, belum di tier 2, 3 dan seterusnya.

Tak heran bila pemerintah hingga kini masih memasukkan industri otomotif sebagai salahsatu unggulan dalam Kebijakan Industri Nasional (KIN) 2015-2019.  Apalagi, Joko Widodo, sempat menggadang-gadang akan kembali menelurkan mobil nasional dengan menunggangi ESEMKA dari Solo ke Jakarta, sebagai simbol akan menelurkan kembali mobil nasional.

Kenyataannya, mewujudkan mobil nasional itu tak semudah apa yang direncanakan. Industri otomotif nasional sudah terbentuk sebagai sebuah habitat yang didalamnya tak lagi membicarakan merek atau komponen lokal. Akibat adanya pasar bebas dan terbukanya pasar, mobil nasional seperti tak relevan lagi dibicarakan.

Pun demikian dengan niat pemerintah untuk membangun industri otomotif melalui kendaraan listrik. Walaupun dukungan lembaga-lembaga pemerintah sudah ada, perlu sinergi dan kepatuhan yang tidak sepotong-sepotong.

Baca juga: Indonesia Punya Bahan Baku Baterai Mobil Listrik

Padat modal

Artinya, industri otomotif adalah industri yang padat modal dan padat teknologi. Modal yang besar mutlak diperlukan untuk menerobos dominasi para pemain besar terdahulu.

Tengok apa yang dilakukan Tesla, produsen mobil listrik Amerika Serikat. Elon Musk, CEO Tesla mengalokasikan lebih dari 1,4 miliar Dollar AS (setara Rp 19,6 triliun dalam kurs Rp14.000) untuk melakukan riset mobil Tesla (www.statista.com). Dana sebesar itu belum termasuk promosi yang membawa mobil Tesla mengitari bumi dengan peluncuran roket SpaceX beberapa waktu lalu.

Biaya besar selalu menjadi kendala dalam pengembangan industri otomotif nasional. Oleh karena itu, meski pemerintah sudah banyak memberikan dukungan berupa insentif fiskal maupun infrastruktur, rasanya masih belum cukup untuk mendorong industri otomotif khususunya kendaraan listrik, untuk benar-benar datang dari dalam negeri yang terbebas dari campur tangan korporasi asing dengan modal besar.

Di dunia kini hampir semua pabrikan sudah melakukan riset dan pengembangan untuk pemakaian listrik sebagai tenaga utama yang dianggap lebih ramah lingkungan ketimbang energi lain semacam bahan bakar minyak.

Nissan dengan Leaf-nya, Mitsubishi dengan i-MIEV, atau Toyota dengan kendaraan hybrid semacam Prius-nya. Bahkan Tesla dengan aneka modelnya.

Investasi

Dalam roadmap para produsen otomotif itu sebenarnya juga sudah mempunyai tahapan-tahapan akan menggunakan tenaga listrik sebagai tenaga utama. Hanya saja, dilakukan secara bertahap, mengingat investasi pada mesin-mesin berbahan bakar minyak yang dibuat untuk kendaraannya perlu dikembalikan dahulu.

Atau, kalau pemerintah ingin tetap membangun industri otomotif melalui kendaraan listrik, bisa juga berkolaborasi dengan para pemain lain di jagad mobil listrik. Misalnya dengan JAG Cina yang baru saja merilis mobil listrik seharga 70 ribu yuan atau setara Rp 151 juta.

Langkah kolaborasi ini lebih realistis ketimbang membangun industri otomotif sendiri dengan modal puluhan bahkan ratusan triliun rupiah. Syaratnya, tenaga-tenaga ahli Indonesia yang memiliki kemampuan mumpuni juga dilibatkan dalam pengembangan kendaraan tersebut.

Korporasi besar sebagai mitra pemerintah cukup menyediakan modal, dengan produksi dan pengembangan serta pemasaran di dalam negeri di lakukan oleh putra bangsa.Bagi para pemodal, toh tersedia pasar yang besar di Indonesia dengan penduduk berjumlah 236 juta jiwa adalah sebuah magnet tersendiri bukan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com