Seiring dengan berjalannya waktu dan adanya arahan pembangunan Pemerintah, industri otomotif mendapat tempat yang terbilang istimewa. Industri ini menjadi salah satu unggulan dalam setiap kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) oleh Orde Baru.
Berturut-turut, kebijakan indsutri otomotif diperbaharui untuk meningkatkan kandungan lokal, hingga menarik bagi industri ikutannya berpartisipasi.
Pemerintah sempat pula menelurkan kebijakan ‘sistem kalender’ yang tujuannya untuk meningkatkan pemakaian barang-barang komponen lokal. Misalnya Toyota Kijang yang saat itu sudah muncul, diharuskan mengadopsi komponen lokal setelah sekian tahun produksi.
Komponennya antara lain berupa aki, cat, peredam kejut dan sejumlah barang lain. Tujuan adanya program sistem kalender ini adalah mendorong industri komponen lokal juga meningkat.
Tekanan
Namun demikian, kemudian program yang dicanangkan pemerintah itu tak disambut baik para perusahaan asing. Hal ini menimbulkan arah kebijakan industri otomotif, kembali berubah.
Kuatnya pengaruh perusahaan asing yang menanamkan modal di Indonesia, menjadi tekanan sendiri bagi pemerintah.
Sebagai konsekuensinya, para pengusaha asing itu kemudian menginvestasikan modalnya dalam bentuk pembangunan pabrik-pabrik perakitan hingga rencana pengembangan mobil di Indonesia.
Baca juga: Sebelum Bikin Mobil Listrik, Baiknya Produksi Baterai Dahulu
Mobil Nasional
Hingga tercetuslah program Mobil Nasional yang dicanangkan pemerintah di era tahun 1990-an. Syarat mobil nasional kala itu adalah mobil yang dirancang dan diproduksi di dalam negeri.
Dalam suatu perbincangan dengan Soebronto Laras, salah satu tokoh otomotif nasional beberapa tahun lalu, ia menceritakan, bahwa PT Indomobil Group sudah menyiapkan Mazda MR sebagai andalannya.
Pun demikian dengan PT Astra Internasional melalui PT Toyota Astra Motor, juga sudah mengembangkan Toyota Kijang sebagai andalanya.
Di luar dua kelompok besar itu, Bakrie Group di sudah menyiapkan Beta8 yang sudah dikembangkan dan diuji untuk kesiapannya diproduksi di dalam negeri.
Melihat besarnya potensi pasar yang ada di Indonesia, di masa itu, dua putra Soeharto- Presiden RI saat itu- juga mengembangkan mobil nasional. Bambang Trihatmodjo, membawa bendera Bimantara Group, menelurkan sedan Bimantara Cakra.
Tak mau ketinggalan, Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto, menelurkan sedan Timor yang awalnya di produksi di Korea Selatan lantaran berkolaborasi dengan Hyundai.
Insentif
Akhir cerita sudah bisa ditebak, adanya insentif khusus bagi putra-putra penguasa berbuah kegagalan. Adanya keringanan pajak, hingga insentif ‘istimewa’ lain yang diperoleh Timor, kemudian digagalkan para pemain lain.
Bahkan, produsen otomotif transnasional menggugatnya ke badan persaingan usaha dunia (World Trade Organsiasion). Timor dinyatakan kalah, dan insentif kemudian dicabut.
Tanpa insentif, harga jual mobil tersebut tidak lagi kompetitif. Pasar dalam negeri yang tadinya senang dengan adanya mobil berharga murah, kemudian kembali melempem.
Merek-merek non Indonesia kemudian kembali merajai pasar otomotif Tanah Air.
Krisis
Kemudian pasar sempat goyah, ketika krisis ekonomi tahun 1998, pasar otomotif hanya mencapai angka 50 ribuan unit dari sebelumnya mencapai 200 ribu unit. Krisis ekonomi kemudian membuka kembali kran impor Completely build up (CBU) lebih longgar karena salah satu perjanjian pinjaman asing melalui International Monetary Fund (IMF) adalah memberikan akses pasar bagi produsen otomotif untuk bersaing di Indonesia.
Kendali para pemilik merek terutama produsen otomotif transnasional, sejak itu semakin kuat. Pemerintah melalui kementerian perindustrian berulang kali menelurkan kebijakan otomotif yang dianggap pro pada pengembangan lokal.