Anggota komunitas ini tak hanya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mereka yang tinggal di Solo, Jepara, dan Palembang pun ada. Peserta dari luar kota ini lebih sering bertemu lewat ajang Plesiran Tempo Doeloe.
Adep menceritakan, tujuan utama komunitas itu dibentuk adalah mengajak masyarakat terutama anak muda untuk mengenang sejarah. Mengenang sejarah bukan berarti mengagung-agungkan kolonialisme. Tur sejarah memaparkan sisi baik dan buruk tanpa memihak dan bersikap subyektif.
”Sahabat Museum ingin masyarakat Indonesia melihat sejarah secara bijak. Bagi kami, kolonialisme ada baik dan buruknya. Ya enggak gitu-gitu amatlah, jangan sampai itu mengusik rasa nasionalisme,” ujar Adep.
Nama Sahabat Museum dipilih karena awalnya komunitas itu memang bermitra dengan museum-museum di Jakarta. Adep sering mengikuti kegiatan di Museum Sejarah Jakarta. Namun, lama kelamaan dia merasa bosan dan ingin mengemas tur dengan konsepnya sendiri. Dengan mengelola sendiri, dia bebas menentukan destinasi tujuan.
”Dulu ada tur namanya wisata kampung tua. Kami cuma ikut enam kali, bantu-bantuin jadi staf. Setelah itu, kami jalan sendiri,” kenang Adep.
Tahun 2004-2005 menjadi masa puncak kejayaan Sahabat Museum. Pada masa itu, kegiatan tur bertema sejarah meledak. Orang-orang demam berwisata sejarah. Komunitas sejarah yang mengorganisasi acara plesiran sejarah pun menjamur.