Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menggali "Harta Karun" dengan Menarik

Kompas.com - 08/07/2015, 13:56 WIB
TIDAK rumit menumbuhkan minat dan kecintaan terhadap sejarah selama mereka bisa dilibatkan dalam sebuah kegiatan berwisata yang menyenangkan. Bukan mengajak mereka dengan cara belajar sejarah menghafal nama tokoh, tahun, ataupun angka kejadian.

Ide itulah yang menyatukan Sahabat Museum, komunitas pencinta sejarah dan situs purbakala. Komunitas itu berdiri di Jakarta tahun 2003.

Awal Mei lalu, Sahabat Museum menggelar Plesiran Tempo Doeloe di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, rute jelajah yang tergolong masih baru. Mereka pun mendatangkan Sven Verbeek Wolthuys (47), laki-laki berkebangsaan Belanda yang kini tinggal di Australia.

Sven adalah cucu tuan tanah yang tinggal di kawasan Tanah Abang Bukit pada tahun 1863-1948. Laki-laki yang berprofesi sebagai DJ dan konsultan itu mewarisi cerita masa lampau Tanah Abang dari neneknya. Ia juga memiliki berbagai foto dokumentasi pribadi.

”Kami mencoba menggali cerita sejarah dari Sven. Dia memiliki cerita yang sangat menarik untuk dibagikan kepada kami,” ujar Ade Purnama, penggagas Sahabat Museum.

Para peserta tur sejarah itu pun larut dalam cerita masa lampau. Mereka melongo, berdecak, dan berimajinasi tentang kehidupan ratusan tahun lalu.

Peserta tur Tanah Abang Heuvel ini pun bervariasi, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Ada yang ikut tur untuk mengisi waktu luang, berburu foto, mencari gebetan, diajak orangtua, hingga mereka yang kecanduan sejarah. Mereka berkeliling mulai dari Taman Prasasti, Pasar Blok E Auri, rumah bekas kamp interniran di Cideng, masjid Ar Rohah di Jalan Abdul Muis, dan Rumah Sakit Budi Kemuliaan, serta tempat bersejarah lainnya.

Salah satunya adalah Tony Setiabudi (70) yang mendapatkan banyak informasi baru tentang sejarah Tanah Abang. Baginya, kawasan yang kini menjadi pusat tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu menyimpan banyak cerita. Ia pertama kali menginap di losmen Tanah Abang saat hendak mendaftar menjadi mahasiswa di Universitas Baperki, kini bernama Universitas Trisakti.

”Beberapa hal yang disampaikan Sven adalah masukan baru bagi saya yang sangat tertarik belajar sejarah, terutama soal budaya Tionghoa peranakan,” ungkap Tony, yang berprofesi sebagai psikiater.

Putra (13), siswa kelas VII sekolah menengah pertama di Jakarta Selatan, juga merasa senang bisa mendengarkan cerita sejarah sembari melihat lokasinya. Menurut dia, belajar sejarah dengan metode ini lebih mudah diserap. Ia pun sudah enam kali bergabung dalam acara tur sejarah yang digelar Sahabat Museum.

Kopi darat

Secara rutin, Sahabat Museum menggelar tur sejarah bertajuk ”Plesiran Tempo Doeloe”. Dari 2003-2015, Sahabat Museum sudah 128 kali menggelar tur bersejarah. Komunitas ini menelusuri jejak sejarah, mulai dari Jakarta, Banda Neira, hingga Belanda. Sistem keanggotaan komunitas ini juga bersifat cair. Di forum mailing list dan akun Facebook tercatat ada 5.000 anggota komunitas. Mereka biasa bertemu dalam forum Plesiran Tempo Doeloe dan Pintong (Pindah Tongkrongan).

”Acara kopdar (kopi darat) ya cuma ada dua itu. Kalau Pintong enggak melulu bahas soal sejarah, terkadang nonton film, pameran, nongkrong, atau makan aja di mal yang udah kita tentukan,” ucap Adep, sapaan akrabnya.

Anggota komunitas ini tak hanya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mereka yang tinggal di Solo, Jepara, dan Palembang pun ada. Peserta dari luar kota ini lebih sering bertemu lewat ajang Plesiran Tempo Doeloe.

Adep menceritakan, tujuan utama komunitas itu dibentuk adalah mengajak masyarakat terutama anak muda untuk mengenang sejarah. Mengenang sejarah bukan berarti mengagung-agungkan kolonialisme. Tur sejarah memaparkan sisi baik dan buruk tanpa memihak dan bersikap subyektif.

”Sahabat Museum ingin masyarakat Indonesia melihat sejarah secara bijak. Bagi kami, kolonialisme ada baik dan buruknya. Ya enggak gitu-gitu amatlah, jangan sampai itu mengusik rasa nasionalisme,” ujar Adep.

Nama Sahabat Museum dipilih karena awalnya komunitas itu memang bermitra dengan museum-museum di Jakarta. Adep sering mengikuti kegiatan di Museum Sejarah Jakarta. Namun, lama kelamaan dia merasa bosan dan ingin mengemas tur dengan konsepnya sendiri. Dengan mengelola sendiri, dia bebas menentukan destinasi tujuan.

”Dulu ada tur namanya wisata kampung tua. Kami cuma ikut enam kali, bantu-bantuin jadi staf. Setelah itu, kami jalan sendiri,” kenang Adep.

Tahun 2004-2005 menjadi masa puncak kejayaan Sahabat Museum. Pada masa itu, kegiatan tur bertema sejarah meledak. Orang-orang demam berwisata sejarah. Komunitas sejarah yang mengorganisasi acara plesiran sejarah pun menjamur.

Meski demikian, hal itu tak merisaukan Adep dan anggota komunitas lain. Adep justru senang virus belajar sejarah kian menyebar. Ia juga kerap mengikuti tur sejarah yang dikelola komunitas lain sekadar untuk mengisi waktu luang atau mencari referensi.

”Saya kepengin orang semakin sadar akan sejarah, misalnya metamorfosis kota. Dengan sadar dan peduli sejarah, orang bisa punya rasa memiliki yang besar terhadap lingkungan tempat tinggalnya,” kata Adep.

Riset dan survei

Saat ditanya mengenai suka dan duka mengorganisasi komunitas pencinta sejarah, Adep mengatakan, proses riset dan survei memakan waktu paling lama. Dibutuhkan ketekunan, ketelatenan, dan kesabaran untuk itu. Apalagi, jika rute tur bukanlah jalur umum atau biasa. Ia perlu berkali-kali datang untuk pendekatan dan meminta izin kepada pemilik bangunan.

KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI Sahabat Museum yang merupakan komunitas pencinta sejarah dan benda-benda purbakala berpose di depan Meester Cornelis, Jatinegara, Jakarta Timur, Oktober 2014 lalu.

”Terkadang kita harus kembali sampai tiga-empat kali untuk meyakinkan mereka. Untuk lebih meyakinkan, saya akan bawa surat resmi,” cerita Adep.

Salah satu pengalaman yang paling mengesankan adalah saat mengatur tur ke Banda Neira, Maluku. Pada saat survei, tidak ada sinyal telepon seluler di lokasi. Menuju ke lokasi, pengunjung harus ke Ambon, lalu naik kapal Pelni selama 8 jam.

Infrastruktur di lokasi juga masih buruk. Jadwal penerbangan juga harus ditunda dalam jangka waktu lama saat cuaca buruk. Beruntung, pada saat hari H, cuaca bersahabat. Seluruh anggota tur yang berjumlah 60 orang puas dan bahagia dengan tur yang digelar.

Untuk memperkaya materi jalan-jalan, Adep juga melahap berbagai jenis buku, seperti karangan Adolf J Heuken. Artikel dari surat kabar pun sering dikliping sebagai sumber referensi.

Ia dan tim yang terdiri dari 30 orang harus menyederhanakan materi text book supaya lebih menarik dan lebih mudah dimengerti.

”Hanya iklan pengumuman pun bikinnya bisa berhari-hari. Saya biasanya memakai ejaan lama untuk membuat kesan kuno,” kata Adep.

Dalam tur-tur sejarah lain, Sahabat Museum juga menghimpun berbagai cerita dari para peserta. Biasanya, akan tercetus cerita riwayat kota dari para peserta yang mengikuti plesiran. Begitulah cara Sahabat Museum mengajak masyarakat mencintai sejarah sehingga sejarah tak lagi membosankan untuk digali.

Mengajak menggali ”harta karun” sejarah kepada generasi berikutnya bukan hal sulit jika disampaikan dengan cara yang menarik. Sahabat Museum membawakannya dengan cara dan daya tarik tersebut untuk mengenalkan sejarah kepada generasi penerus. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau