Jakarta, KompasOtomotif - Stephanus Ardianto menjadi salah satu sosok di balik kesuksesan Nissan Motor Indonesia (NMI) beranjak menjadi produsen otomotif besar di Indonesia. Sebelumnya, Stephanus sudah menceritakan bagaimana tahun-tahun pertama bergabung dengan Nissan, sampai harus dihantam badai krisis moneter pada 1998.
Setelah satu setengah tahun berjuang untuk bisa bertahan dari hantaman krisis, akhirnya tahun 2000 Nissan mulai bangkit lagi. Setahun kemudian (2001), Nissan Group dari Jepang ikut masuk dan memberikan subsidi untuk buat bangkit dari keterpurukan.
"Karena waktu itu semua yang bergerak di bidang otomotif terlibat hutang yang sangat besar. Sistem bisnis saat itu menggunakan pinjaman dengan dollar AS, karena bunga rendah, lalu rupiah anjlok dan hutang jadi berlipat, dan makin melonjak karena krismon," jelas pria yang akrab disapa Steve ini saat berbincang dengan KompasOtomotif.
Steve bercerita, prinsipal Nissan masuk 2001 dan langsung membawa perubahan yang sangat besar. "Kita harus ikut menyesuaian kebijakan stakeholder yang baru, dan luar biasa perubahannya. Itu menuntut fleksibilitas karena semua sistem yang dibawa model baru, seperti sistem pelaporan, accounting dan komputerisasi. Presdir pertama datang dari Jepang dan empat tahun pertama (2001 sampai 2005) adalah yang sangat berkesan buat saya," papar Steve.
Steve lalu dipromosikan untuk menjadi deputy director yang mengurus banyak hal termasuk tugas-tugas sebelumnya sampai urusan legal dan segala macam hal lain. "Karena perusahaan kecil, maka satu orang harus bisa mengurusi banyak hal. Tapi ini yang saya gunakan buat belajar banyak. Usia saya masih relatif masih muda, saya hanya berpikir positif dan ambil ilmunya. Anggap saja kita sekolah tapi dibayar, meski kerjaan banyak tapi jangan selalu orientasi masalah gaji."
Dilanjutkan, saat lulus kuliah dan mulai kerja, Steve mendapat perbedaan yang luar biasa besar. Begitu masuk kerja, dirinya sama sekali tidak memakai ilmu yang didapat di bangku kuliah, dan semua dimulai dari nol soal masalah manajemen industri. Tapi, Steve punya prinsip bahwa bila masih muda harus lapar tentang ilmu dan mau terus belajar.
Setelah dua tahun berjalan yang dipimpin langsung orang dari Jepang, Steve mulai diajak untuk ikut dalam proyek perancangan mobil baru. Dimulai sejak 2003, Nissan Indonesia sedang memikirkan mobil multiguna (MPV) yang saat itu mulai digandrungi konsumen Tanah Air.
Nissan membuat proyeksi MPV sebagai cikal bakal lahirnya Grand Livina. Dikisahkannya, bahwa bukan perkara mudah untuk bisa meyakinkan prinsipal akan keuntungan memiliki mobil MPV. Padahal saat itu sudah mulai hadir Toyota Avanza, Innova, dan Daihatsu Xenia, sebagai pemegang MPV terbesar.
"Pengalaman paling berkesan adalah saat merancang Grand Livina dan berinteraksi dengan prinsipal di Jepang. Banyak terjadi adu argumen dan perselisihan karena pandangan yang berbeda antara Jepang dan di sini. Saya pelajari bahwa kalau kita benar-benar yakin, kita harus punya keberanian dan kekuatan untuk bertarung, sayangnya kebanyakan orang Indonesia punya mental yang terlalu manut yang bisa berujung dengan banyak kesalahan yang muncul."
Nissan memulai dengan menggarap konsep Grand Livina dan awalnya secara natural rancangan konsep seperti Avanza dan Innova dengan mesin dan tenaga besar serta berkapasitas banyak. Steve berpikir, kalau Nissan bikin sama persis dengan Avanza atau Innova, lalu yang beli Nissan itu siapa. Harus ada diferensiasi dan muncul ide untuk memproduksi mobil yang berbeda.
"Kita cari yang belum ada di pasar, trennya harga bahan bakar mulai naik dan kompetitor punya faktor agak boros. Tadinya faktor utama beli mobil adalah engine performance. tapi makin lama bergeser karena harga BBM. Kedua bodi besar, tapi makin lama jalanan macet, jadi kita bikin yang lebih ringkas. Selanjutnya kita bikin handling seperti sedan, jadi lahirnya Grand Livina."
Nissan Indonesia meluncurkan Grand Livina pada 2007 dengan penggarapan konsep sejak 2003 atau dengan kata lain pengembangan MPV ini butuh waktu selama empat tahun. Grand Livina hadir dengan keunggulan irit bahan bakar, handling layaknya sedan dan compact size.
"Asal kita punya kepercayaan diri dengan data yang cukup, kita harus berani mengajukan itu ke prinsipal. Pada dasarnya, orang timur lebih manut daripada orang barat, jadi cenderung takut mengemukakan pendapat," lanjut Steve.