JAKARTA, KOMPAS.com - Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri kembali menegaskan aturan baku terhadap sepeda listrik bagi masyarakat umum, yakni terkait penggunaan dan jenis.
Penegasan ini lantaran fenomena anak di bawah umur yang menggunakan sepeda listrik kian marak, semakin sering dijumpai di jalanan umum kota-kota besar.
Irjen Pol Firman Shantyabudi, Kepala Korlantas Polri menjelaskan, situasi ini terlebih dahulu harus diruntut dari akar. Dia menyayangkan, cukup banyak orang tua yang menyediakan sepeda listrik untuk anak-anaknya.
“Anak-anak sekarang tidak dibolehkan pakai motor, kemudian pinjam motor orangtuanya, akhirnya (supaya tidak pinjam) malah dibelikan sepeda listrik dan turun ke jalan, begitulah situasinya,” ujar Firman kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Dia menjelaskan jika sejatinya, penggunaan sepeda listrik tidak boleh di jalanan umum yang bersatu dengan kendaraan lain.
“Sebaiknya pakai (sepeda listrik) itu di kompleks (perumahan) saja,” kata Firman.
Pada kesempatan yang sama, Brigjen Pol Yusri Yunus, Direktur Registrasi dan Identifikasi (Dirregident) Korlantas Polri menjelaskan, sepeda listrik tidak boleh memiliki kecepatan di atas 35 kpj.
Menurutnya, kendaraan dengan kecepatan 35 Kpj ke atas harus memiliki surat identifikasi wajib, yakni STNK. Pengendara juga tidak boleh di bawah umur dan wajib memiliki SIM
“Harus di bawahnya, mungkin sekitar 20 Kpj. Kalau sudah 35 Kpj, untuk penggunaan di jalan raya wajib memiliki STNK dan SIM,” ujarnya.
Yusri menjelaskan, sejauh ini, aturan fundamental mengenai sepeda listrik diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan (kemenhub). Wewenang pihak Korlantas adalah dalam hal penertiban lalu lintas.
“Untuk penanganan (sepeda listrik) di jalan raya pasti akan dilakukan, kalau ada anggota yang menjumpai. Cuma aturan bakunya ada di Kemenhub, lewat surat uji tipe (SUT),” kata Yusri.
Untuk diketahui, aturan terkait penggunaan kendaraan listrik tercantum dalam Permenhub nomor 45 tahun 2020 tentang kendaraan tertentu dengan penggerak motor listrik.
Akan tetapi, regulasi yang mengandung 9 pasal tersebut dinilai kurang detail dan spesifik dalam membahas regulasi tegas perihal penggunaan dan standarisasi sepeda listrik.
Hal itu sebagaimana disampaikan Kombes Pol Mohammad Tora, Kasubdit Standar Cegah dan Tindak Ditkamsel Korlantas Polri. Pada kesempatan terpisah, dia mengakui jika status sepeda listrik masih cukup rancu.
“Persoalan sepeda listrik sampai sejauh ini masih terbilang rancu, ada unit yang betul-betul sepeda dengan dinamo listrik dan kecepatannya terbilang rendah, tapi ada pula unit yang sudah bisa ngebut dan seharusnya masuk kategori motor listrik,” kata dia kepada Kompas.com, belum lama ini.
Adapun terkait penanganan sepeda listrik yang melanggar aturan, Tora menyebut akan ada 2 langkah penindakan yang dilakukan, yakni pemeriksaan fungsi kendaraan dan kecepatan maksimal.
Soal pemeriksaan fungsi, jika ditemukan sepeda listrik yang digunakan tidak memiliki komponen pedal untuk mengayuh, pengguna akan ditilang dan kendaraan akan disita.
“Nantinya anggota akan memeriksa unit yang dimaksud dan diperhatikan kelengkapan komponennya. Jika memang masih layak disebut sepeda, seharusnya masih ada pedal kayuh. Kalau tidak ada, dianggap sebagai motor listrik,” ucap dia.
Langkah kedua adalah memeriksa kecepatan maksimal. Menurut Tora, selain wajib memiliki pedal kayuh, sepeda listrik juga tidak boleh memiliki kecepatan maksimal di atas 20 Kpj.
“Jika ditemukan kecepatan maksimalnya sudah di atas 20 Kpj, misalnya sudah nembus 50 Kpj, ini termasuk membahayakan dan akan ditahan (di polres) juga,” ucap dia.
https://otomotif.kompas.com/read/2023/08/05/063119615/definisi-sepeda-listrik-wajib-punya-di-bawah-35-kpj-dengan-pedal